"Katakanlah : 'Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya." (Q.S. al-Baqarah : 136)
Selain ayat diatas, masih banyak ayat al-Quran yang mengindikasikan bahwa agama sebenarnya satu (Q.S al-Baqarah: 111-112, 136; ali Imran: 64; An-Nisa: 150, 163; al-Syura: 13; Saba: 28; al-Anbiya: 25..dll). Ini berarti semua agama memiliki "NASAB SAMAWI" yang bersumber dari wahyu ilahi. Namun, implementasinya dalam setiap zaman mengambil format khusus yang berkesesuaian dengan kondisi dan situasi zaman ditambah dengan dialektikanya dalam kehidupan dan nalar manusia yang menghasilkan hermeneutika panjang dalam proses penduniawian hal-hal yang samawi sekaligus pensamawian hal-hal yang duniawi. Hubungan timbal balik ini menghasilkan polarisasi agama yang awalnya satu menjadi beragam dalam tampilannya.
Dengan demikian agama berevolusi menuju kesempurnaannya yang termanifestasi dalam kebertingkatan yang satu sekaligus banyak. Ini berarti ada dimensi yang melandasi seluruh tampilan agama yang beragam.
Dalam perbincangan filosofis, Tuhan menciptakan makhluk melalui tajalli dirinya (emanasi, isyraq) sehingga terciptalah makhluk pertama yang satu (akal satu), karena dalam kaedah filsafat “satu hanya mengeluarkan satu” (al-wahid la yashduru minhu illa wahid). Kemudian dari akal satu terciptalah akal-akal berikutan hingga akal terakhir yang mentajallikan alam mitsal (alam ide, alam barzakh). Dari alam mitsal inilah kemudian muncul alam materi. Di sini terlihat bahwa ada tingkatan wujud (gradasi wujud) yang terbentang dari Tuhan – alam akal - alam mitsal - hingga alam materi. Secara filosofis tingkatan ini menggambarkan bahwa wujud sebenarnya satu, namun punya penampilan yang beragam (wahdat al-wujud fi ainil katsrah). Jadi, munculnya keragaman itu senyatanya dapat dikembalikan kepada kesatuan (yakni wujud).
Jadi, kesatuan nasab agama-agama, secara esensial merupakan pancaran cahaya ketuhanan saat mengenalkan diri-Nya pada wilayah abstrak dan konkrit. Manusia sebagai makhluk beragama dengan berbekal potensinya akan menangkap pancaran cahaya tersebut sesuai kapasitas dan kesiapannya masing-masing. Semua menangkap cahaya ketuhanan, hanya saja dalam tingkat intensitas yang beragam, berbeda dan bertingkat. Hal itu disebabkan karena keterbatasan pemahaman, keterbatasan bahasa pengungkapan, kebutuhan zaman, dan pelembagaan dalam komunitas bersama. Ini berarti Realitas (al-Haq) sebagai kenyataan yang satu, direspon dalam ragam persepsi yang dinyatakan. Persepsi yang dinyatakan ini jika mendapat kesesuaian dengan Realitas (al-Haq) maka akan menghasilkan kebenaran, namun, jika tidak, berarti mental manusia telah salah menangkap pancaran al-Haq (Realitas).
Dengan memahami hal di atas, maka keragaman bukanlah hal yang esensial, melainkan kesatuan itulah yang sebenarnya menjadi pusat perhatian kita. Karena itu visi kesatuan agama berorientasi untuk mendudukkan aneka agama dalam realitas kesatuan yang didambakan... karena itu perbedaan dalam memeluk agama tidak layak menjadikan umat berada dalam konflik dan perpecahan..
Perhatikan visi kesatuan agama-agama yg ditetapkan kitab suci berikut ini :
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: 'TEGAKKANLAH AGAMA DAN JANGANLAH KAMU BERPECAH BELAH TENTANGNYA'. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." (asy-Syura : 13). wallahu a'lam. (CaRe)
Silahkan satukan agama syiah mu dengan agama yang melahirkan syiah yaitu yahudi yang menikah dengan nasrani dan saat bersamaan mut'ah dengan majusi
BalasHapus