Powered By Blogger

Minggu, 31 Januari 2010

HERMENEUTIKA : MEMBONGKAR SAKRALISASI TEKS KEAGAMAAN


Beberapa dasa warsa yang lalu, jagad intelektual Islam dihebohkan dengan kasus seorang profesor kajian Islam dan studi Bahasa Arab di Universitas Kairo, Mesir, karena divonis murtad dan harus menceraikan isterinya. Pasalnya, ia dituduh bahwa sekumpulan karya-karyanya telah mengotori akidah islam tentang ketuhanan, malaikat, kesucian al-Quran, Kenabian, dan keyakinan lainnya.

Karena desakan kuat dan situasi yg tidak memungkinkan, maka pada tahun 1995, profesor tersebut beserta isterinya dengan berat hati pergi 'mengasingkan diri' meninggalkan Mesir dan menetap di Leiden, Belanda untuk menjadi guru besar tamu dibidang Kajian Islam di Universitas Leiden, Belanda hingga kini. Siapakah dia..?? bagi pengkaji studi pemikiran Islam kontemporer, khususnya kajian al-Quran, pasangan intelektual Islam ini tidaklah asing lagi..dialah Prof. Nasr Hamid Abu Zaid dan isterinya Prof. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis. Nasr Hamid Abu Zaid kemudian dikenal sebagai salah satu pioner pengembang dan pendukung setia proyek hermeneutika al-Quran.

Salah satu persoalan utama hermeneutika kitab suci adalah persoalan teks al-Quran. Apakah teks al-Quran bersifat Ilahiah dan sakral, atau bersifat manusiawi dan profan..???

Menurut pendapat jumhur, teks al-Quran bersifat ilahiah dan sakral..sedangkan sebagian kecil pendapat menganggap teks al-Quran bersifat manusiawi dan profan. Tanpa ingin masuk pada perbedatan panjang tentang hal ini, saya dapat simpulkan bahwa pendapat yang kedua ini menjadi pegangan utama kalangan pendukung hermeneutika, seperti Nasr Hamid Abu Zaid.

Nasr Hamid Abu Zaid, memulai rekonstruksinya dengan keyakinan bahwa al-Quran adalah ‘karya keagamaan’, kitab petunjuk, seperti yang pernah dikatakan Abduh. tetapi bagaimana kita bisa mencapai petunjuk itu? Bagaimana seharusnya kita memahami teks, agar petunjuk tersebut bisa di raih?. Kita harus ‘menafsirkannya’. Al-Quran adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan ‘saluran’, yakni berupa bahasa Arab. Untuk meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih dari hanya sekedar disiplin filologi. Analisis ini menempatkan al-Quran sebagai teks poetik yang terstruktur. Oleh karenanya, al-Quran tidak masuk kategori teks puisi, sebaliknya ia tetap sebagai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi.” (Abu Zaid, 2004 : xiv)

Bagi Abu Zaid proses turunnya wahyu merupakan suatu aktivitas komunikasi yg secara alami terdiri dari empat unsur yaitu Tuhan sbg Sumber Pembicaraan; Nabi Muhammad sebagai penerima; Bahasa Arab sebagai tanda komunikasi; dan Ruh Suci (Malaikat Jibril) sebagai penghubung."

Menariknya, karena Tuhan sebagai Wujud Gaib Mutlak Tak Terbatas dan tidak mungkin terjangkau, maka Tuhan sebagai Pengarang (Author) kitab suci harus dikesampingkan. Ini artinya secara tidak langsung Abu Zaid menahbiskan "Kematian Tuhan"... karena itu saat ini kita hanya berhubungan dengan teks kitab suci dan dialektika zaman. Lantas apa yang harus kita lakukan terhadap teks al-Quran tersebut..?

Bagi Hasan Hanafi, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu atau teori interpretasi dan memahami teks, tetapi juga mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari huruf ke realitas atau dari logos ke praktis, selanjutnya tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata. Tiga tahapan hermeneutika menurut Hasan hanafi adalah :
  1. Kritik sejarah untuk membuktikan otentisitas kitab suci menurut sejarah.
  2. Proses memahami teks dengan teori interpretasi untuk mendapatkan pengertian/pemahaman yang tepat.
  3. Proses merealisasikan maknanya dalam kehidupan nyata.
Dalam bahasa fenomenologi, lanjut Hanafi, kita dapat mengatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dengan objeknya, yaitu kitab suci. Pertama, kita memiliki ‘kesadaran historis’, yang memastikan otentisistas teks dan tingkat keabsahannya. Kedua, kita mempunyai ‘kesadaran eidetik’ yang menjelaskan makna teks, sehingga menjadi rasional. Ketiga, kita memiliki ‘kesadaran praktis’, yaitu menjadikan makna teks sebagai dasar teori dalam kehidupan nyata dan alam semesta sebagai suatu tatanan ideal di mana dunia mencapai kesempurnaannya. (Hasan Hanafi, tt : 19).

Kemudian karena teks kitab suci itu berbahasa Arab, dan secara teologis diyakini bahwa Tuhan tidak berkata-kata dengan bahasa tertentu, maka berarti teks al-Quran bersifat manusiawi. Kemanusiawian teks al-Quran, merupakan aktivitas jenius Nabi Muhamamd saaw sebagai penerima teks dengan Malaikat Jibril as sebagai penghubung. Dengan demikian wahyu ialhiah yang "dipancarkan" dari kalam ilahi yg gaib, telah diterjemahkan ke "kalam manusiawi" utk diucapkan dan dituliskan. "Teks manusiawi" inilah yang kita baca dan kita tafsirkan sepanjang sejarah umat Islam.

Selanjutnya, karena bahasa Arab merupakan produk bangsa Arab yg mengalami dealektika dengan realitas kehidupan mereka baik sosial, ekonomi, budaya dan peradaban, maka secara tidak langsung teks al-Quran merupakan "produk kebudayaan" atau "produk sejarah"...

Namun, karena al-Quran merespon kebudayaan-kebudayaan masa itu, maka al-Quran juga memberikan andil besar dalam membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem budaya masyarakat Arab, bahkan bahasa Arab dalam beberapa kondisi harus menyesuaikan diri dengan bahasa al-Quran sehingga mampu mengubah pola pikir dan kehidupan sosial bangsa Arab. Pada titik ini, teks al-Quran yang awalnya "produk kebudayaan" dan "Produk sejarah" menjadi "produsen atau pembentuk kebudayaan" serta "pembentuk sejarah" (marhalah at-tasykil).... dititik ini kita melihat mercusuar Islam mengubah bangsa Arab yang badui menjadi bangsa berperadaban dan menciptakan peradaban yang melampaui berbagai budaya dan tradisi yang pernah ada di jagad raya ini.... ini berarti teks al-Quran bukanlah teks mati, tetapi teks hidup, yang menggerakkan hati, pikiran, dan seluruh potensi kekuatan manusia untuk menciptakan "Peradaban yang Revolusioner sepanjang sejarah"....wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar