Powered By Blogger

Minggu, 31 Januari 2010

PLURALISME AGAMA SEBAGAI VISI KEARIFAN GLOBAL


Banyak kerusuhan terjadi di muka bumi, tak terhitung kerugian harta, entah berapa terbunuhnya jiwa. Motifnya bisa kekuasaan, hinaan, atau juga kelaparan. Namun yang lebih semarak kerusuhan karena motif keagamaan. Mengapa? Karena agama dianggap sebagian orang bagai pisau bermata ganda. Ia menjanjikan kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang, ternyata juga dipenuhi dengan peperangan, penderitaan, dan kebencian.

Agama yang berisi sekumpulan ajaran merefleksikan penalaran, perasaan, dan juga tindakan. Sebagai penalaran, agama berujud pada argumentasi yang meyakinkan atau juga membingungkan. Dalam perasaan, agama tampil penuh emosi dan kerinduan pada Tuhan. Sedangkan melalui tindakan, agama menjadi sarana pembangunan sekaligus bisa berujung pada penghancuran dan juga pemboman. Anehnya, persoalan ini tidak saja dirasakan oleh sekelompok orang atau wilayah tertentu, melainkan nyaris disikapi oleh semua manusia kapanpun dan dimanapun. Ini disebabkan globalisasi sudah tidak terpisahkan dari kehidupan insan.

Imbas globalisasi, menjadikan hijab-hijab geografis duniawi menjadi terlintasi yang bukan saja pada dimensi politik dan ekonomi, namun juga merambah pada wilayah ilmu dan teknologi, budaya dan juga agama. Globalisasi merupakan ‘rahim’ yang mengandung kelebihan dan kekurangan, positif dan juga negatif. Dalam bidang agama, globalisasi secara negatif akan menghasilkan benturan antar agama, sedangkan secara positif memberikan wawasan, pengalaman, dan berbagi kerjasama dalam membangun peradaban bersama. Karenanya, enyahkan yang negatif, gunakan yang positif. Caranya, mestilah dicarikan suatu prinsip yang arif dalam menyikapinya. Salah satu kearifan global yang ditawarkan adalah “pluralisme agama”.

Tanpa ingin masuk pada perdebatan pengikut dan pemberontak setianya, bagi penulis, pluralisme agama, sebagai kearifan global dapat dikaitkan dengan kesatuan atau upaya mencari zona singgung dari adanya aneka jalur agama. Pluralisme ini dapat diwujudkan, ketika masing-masing penganut agama yang beraneka ragam memprivatkan perbedaan-perbedaan dan mempublikkan garis kesamaan yang ditemukan dalam semua jantung agama dengan mengarahkan pandangan pada kesatuan universal-transmetafisik agama-agama.

Indonesia, tanah subur untuk tumbuhnya aneka keyakinan beragama, mestilah menjaga irama sensitivitas religius dengan kendali kearifan nalar untuk dapat berkomunikasi secara harmonis dan bersikap pluralis agar tercipta tindakan yang moralis. Dengan itu semua, akan tercipta suatu toleransi kemanusiaan yang inovatif bukan monopoli, yang kreatif bukan reaktif, yang dinamis bukan statis, dan yang penuh keramahan bukan kemarahan. Hasilnya akan terwujud kerjasama sejati dalam usaha membangun peradaban sejagat demi kesejahteraan dan tujuan hidup bersama sesuai orientasi semua agama.

Namun, bukan usaha jika tiada hambatan. Tak jarang, keinginan hidup bersama di atas altar perbedaan yang digaungkan kaum pluralis mendapatkan tantangan sinis. Atas nama agama, para “tentara tuhan”—meminjam ungkapan Abu el-Fadhl—melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menghasilkan benturan internal dan eksternal agama. Hal itu terjadi, karena niat suci terkadang berkolaborasi dengan arogansi dan antipati sehingga menimbulkan konflik dan tindakan anarkis, yang berakhir pada usaha mengkebiri kelompok tertentu. Ini merupakan sebuah bentuk tirani agama yang menutup mata terhadap realitas kemajemukan yang dipersembahkan Tuhan, “Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuat engkau tidak berlaku adil” (al-Quran). Joachim Wach dengan sangat manis mengungkap, “memang benar, untuk mencintai kebenaran, anda harus membenci ketidakbenaran. Tetapi tidak benar jika karena ingin memuji kepercayaan anda sendiri, anda harus membenci dan menghina orang-orang yang memiliki kepercayaan lain.” (Wach: 1984, 12-13)

Pluralisme agama dianggap oleh para penentangnya akan mendekonstruksi (meminjam istilah Derrida) semua bangunan keyakinan yang telah bersemayam kuat dalam benak umat beragama. Atau pluralisme agama, meminjam ungkapan William Alston, hanyalah justifikasi prima facie, menampilkan kesan awal yang baik dibalik selubungnya yang berbahaya. Sebab, dalam sisi ekstrimisnya, pluralisme agama akan mengarahkan pada relativisme bahkan ateisme, suatu sisi yang berlawanan dengan agama itu sendiri. Dedengkot Pluralisme, John Hick, misalnya berpandangan, jika kita mengarahkan perhatian pada Realitas Tertinggi (Tuhan), maka kita akan menemukan rumusan yang beragam dari perspektif individual. Apakah aneka rumusan tersebut semuanya benar? Atau semuanya salah? Atau salah satunya saja yang benar? Bagi Hick, membenarkan semuanya adalah tindakan yang bijak. Inilah yang ditakutkan sebagian kalangan pemblokir pengaruh pluralisme, karena itu berarti nilai kesakralan agama menjadi nihil.

Akan tetapi, bagi penulis, anggapan ini tidak akurat. Agama apapun (khususnya Islam) bukanlah mengajarkan kepengecutan, melainkan mengajarkan keberanian untuk mengungkapkan keyakinan ditengah badai keyakinan lainnya. Jika memang bangunan keyakinan kita kukuh dan utuh, maka model dekonstruksi apapun akan kehilangan daya ledaknya. Namun, jika kepengecutan yang meliputi bangunan keyakinan kita, maka kita tak lain hanya menjadi pecundang dengan menjadikan agama sekedar alat yang dikeramatkan....wallahu a'lam. (CaRe)


1 komentar:

  1. Salam Mas Candiki,

    Jumpa lagi dengan saya (Gul Azwara). Lagi iseng-iseng blogwalking ternyata nyangkut di sini, di blognya Mas Candiki. (",)

    Btw, cukup menarik apa yang diposting oleh Mas Candiki di atas mengenai Pluralisme, khususnya Pluralisme Agama.

    Ada hal yang ini saya tanyakan, kenapa Mas Candiki tidak memberikan definisi arti kata Pluralisme pada awal postingan? Hal ini, cukup membingungkan karena pembaca tidak lagi diterangkan secara dasar kata dan bahasa tersebut (pluralisme).

    Saya coba untuk mendiagnosa bahwa postingan Mas Candiki tidaklah membahas Pluralisme tapi sedang membahas masyarakat dalam era modern (modernisme). Sebab, kalau kita mengacu pada arti kata Pluralisme, maka akan berbeda sekali dengan pluralisme yang dimaksud Mas Candiki di atas.

    Saya cenderung sekali menilai substansi atas artikel di atas adalah, bagaimana kita bersikap (Umat Muslim) terhadap Pluralitas, bukan Pluralisme.


    Salam,

    BalasHapus