Powered By Blogger

Minggu, 31 Januari 2010

MENIRU NEGARA FIR'AUN



Suatu hari Iblis bertamu ke istana Firaun...mereka bercengkerama sebagai teman yg setia...tetapi kemudian Iblis berkata,.."wahai Firaun, hari ini akau ingin memutus tali persahabatan kita"...."Kenapa"?, Tanya Firaun dengan terkejut....maka Iblis pun menjawab, "Aku takut mendapatkan kutukan Tuhan yg kedua kalinya...sedurhaka-durhakanya aku, hanya tidak mau sujud kpd Adam, tetapi tetap mengakui Tuhan...sedangkan engkau bukan hanya tidak sujud, tetapi malah mengaku Tuhan...sungguh engkau lebih durhaka dariku, dan aku takut saat Tuhan mengutukmu, akau terkena imbas kutukan itu."..Selamat tinggal Un, lanjut Iblis....

Tentang Negara Firaun, Tuhan berfirman :... “(Siksaan) yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya Maka kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Anfaal : 53-54)

Ayat di atas mengingatkan kita tentang model pemerintahan zalim yang pernah berdiri di permukaan bumi. Pemerintahan zalim dipimpin oleh seorang raja yang angkuh yang bergelar Fir’aun. Setelah Firaun melampaui batas dalam kesesatan, ketidakadilan dan kesombongan, maka Allah swt murka dan menghancurkan Fir’aun beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Tidak sampai di situ, allah menjadikan Firaun sebagai contoh dan pelajaran bagi suatu negara dan pemerintahan, di mana Allah menegaskan, “jika suatu negara telah meniru dan menjadikan sistem pemerintahannya mirip dengan pemerintahan Firaun, maka Allah akan menghukum dan menimpakan bencana kepada mereka.”

Sistem pemerintahan Firaun dibangun melalui kedurhakaannya kpd Tuhan, dilanjutkan penentangannya kepada utusan Tuhan (Nabi Musa as), tidak sampai disitu saja, dia juga mengaku Tuhan dan menganggap manusia lainnya sebagai hamba dan budaknya.

Sebagai pemimpin dia tidak menebarkan rahmat tetapi menyebar azab. Takut kekuasaanya terganggu, sehingga dia harus membunuh orang-orang yang dianggap akan merusuh. Untuk itu ia membuat komunitas yg mewakili masyarakat utk menjadi corong kekuasaanya. Inilah empat elemen penegak NEGARA FIRAUNI :

1. Penguasanya adalah FIR'AUN yg terkenal zalim, tidak berlaku adil dan menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang-orang lemah, memeras orang-orang miskin, dan merampas hak orang-orang yang tidak berdaya.

2. Penyandang dananya adalah QARUN, yaitu orang-orang kaya yang mendukung pemerintahan Firaun, yang rakus mengumpulkan proyek-proyek tanpa memperdulikan halal dan haram. Demi duit, mereka tidak ragu-ragu menghantam, menyakiti, membunuh, bahkan menfitnah sesama saudaranya.

3. Aktor intelektualnya adalah HAMAN, yaitu cendekiaan dan ilmuan yang menjadikannya kecerdasannya untuk mengabdi pada Tiran. Kecerdikannya digunakan untuk meliciki orang banyak.

4. Ulamanya adalah Bal’am bin Baura, yaitu ulama yang mendukung tiran dengan menjual ayat-ayat Tuhan untuk memperoleh keuntungan material. Yang mengemas ambisi duniawi dengan ritus-ritus dan pura-pura saleh. Yang mengeluarkan fatwa-fatwa utk melanggengkan kekuasaan Firaun.

Inilah empat elemen penyangga Negara dan Pemerintahan tirani Firaun, yg membuat Iblis pun harus mengaku kalah. Negara manakah yg keempat elemen ini bersatu membentuk negaranya? Mudah-mudahan bukan di negara tercinta Indonesia Raya.....wallahu a'lam. (CaRe)

PLURALISME AGAMA SEBAGAI VISI KEARIFAN GLOBAL


Banyak kerusuhan terjadi di muka bumi, tak terhitung kerugian harta, entah berapa terbunuhnya jiwa. Motifnya bisa kekuasaan, hinaan, atau juga kelaparan. Namun yang lebih semarak kerusuhan karena motif keagamaan. Mengapa? Karena agama dianggap sebagian orang bagai pisau bermata ganda. Ia menjanjikan kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang, ternyata juga dipenuhi dengan peperangan, penderitaan, dan kebencian.

Agama yang berisi sekumpulan ajaran merefleksikan penalaran, perasaan, dan juga tindakan. Sebagai penalaran, agama berujud pada argumentasi yang meyakinkan atau juga membingungkan. Dalam perasaan, agama tampil penuh emosi dan kerinduan pada Tuhan. Sedangkan melalui tindakan, agama menjadi sarana pembangunan sekaligus bisa berujung pada penghancuran dan juga pemboman. Anehnya, persoalan ini tidak saja dirasakan oleh sekelompok orang atau wilayah tertentu, melainkan nyaris disikapi oleh semua manusia kapanpun dan dimanapun. Ini disebabkan globalisasi sudah tidak terpisahkan dari kehidupan insan.

Imbas globalisasi, menjadikan hijab-hijab geografis duniawi menjadi terlintasi yang bukan saja pada dimensi politik dan ekonomi, namun juga merambah pada wilayah ilmu dan teknologi, budaya dan juga agama. Globalisasi merupakan ‘rahim’ yang mengandung kelebihan dan kekurangan, positif dan juga negatif. Dalam bidang agama, globalisasi secara negatif akan menghasilkan benturan antar agama, sedangkan secara positif memberikan wawasan, pengalaman, dan berbagi kerjasama dalam membangun peradaban bersama. Karenanya, enyahkan yang negatif, gunakan yang positif. Caranya, mestilah dicarikan suatu prinsip yang arif dalam menyikapinya. Salah satu kearifan global yang ditawarkan adalah “pluralisme agama”.

Tanpa ingin masuk pada perdebatan pengikut dan pemberontak setianya, bagi penulis, pluralisme agama, sebagai kearifan global dapat dikaitkan dengan kesatuan atau upaya mencari zona singgung dari adanya aneka jalur agama. Pluralisme ini dapat diwujudkan, ketika masing-masing penganut agama yang beraneka ragam memprivatkan perbedaan-perbedaan dan mempublikkan garis kesamaan yang ditemukan dalam semua jantung agama dengan mengarahkan pandangan pada kesatuan universal-transmetafisik agama-agama.

Indonesia, tanah subur untuk tumbuhnya aneka keyakinan beragama, mestilah menjaga irama sensitivitas religius dengan kendali kearifan nalar untuk dapat berkomunikasi secara harmonis dan bersikap pluralis agar tercipta tindakan yang moralis. Dengan itu semua, akan tercipta suatu toleransi kemanusiaan yang inovatif bukan monopoli, yang kreatif bukan reaktif, yang dinamis bukan statis, dan yang penuh keramahan bukan kemarahan. Hasilnya akan terwujud kerjasama sejati dalam usaha membangun peradaban sejagat demi kesejahteraan dan tujuan hidup bersama sesuai orientasi semua agama.

Namun, bukan usaha jika tiada hambatan. Tak jarang, keinginan hidup bersama di atas altar perbedaan yang digaungkan kaum pluralis mendapatkan tantangan sinis. Atas nama agama, para “tentara tuhan”—meminjam ungkapan Abu el-Fadhl—melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menghasilkan benturan internal dan eksternal agama. Hal itu terjadi, karena niat suci terkadang berkolaborasi dengan arogansi dan antipati sehingga menimbulkan konflik dan tindakan anarkis, yang berakhir pada usaha mengkebiri kelompok tertentu. Ini merupakan sebuah bentuk tirani agama yang menutup mata terhadap realitas kemajemukan yang dipersembahkan Tuhan, “Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuat engkau tidak berlaku adil” (al-Quran). Joachim Wach dengan sangat manis mengungkap, “memang benar, untuk mencintai kebenaran, anda harus membenci ketidakbenaran. Tetapi tidak benar jika karena ingin memuji kepercayaan anda sendiri, anda harus membenci dan menghina orang-orang yang memiliki kepercayaan lain.” (Wach: 1984, 12-13)

Pluralisme agama dianggap oleh para penentangnya akan mendekonstruksi (meminjam istilah Derrida) semua bangunan keyakinan yang telah bersemayam kuat dalam benak umat beragama. Atau pluralisme agama, meminjam ungkapan William Alston, hanyalah justifikasi prima facie, menampilkan kesan awal yang baik dibalik selubungnya yang berbahaya. Sebab, dalam sisi ekstrimisnya, pluralisme agama akan mengarahkan pada relativisme bahkan ateisme, suatu sisi yang berlawanan dengan agama itu sendiri. Dedengkot Pluralisme, John Hick, misalnya berpandangan, jika kita mengarahkan perhatian pada Realitas Tertinggi (Tuhan), maka kita akan menemukan rumusan yang beragam dari perspektif individual. Apakah aneka rumusan tersebut semuanya benar? Atau semuanya salah? Atau salah satunya saja yang benar? Bagi Hick, membenarkan semuanya adalah tindakan yang bijak. Inilah yang ditakutkan sebagian kalangan pemblokir pengaruh pluralisme, karena itu berarti nilai kesakralan agama menjadi nihil.

Akan tetapi, bagi penulis, anggapan ini tidak akurat. Agama apapun (khususnya Islam) bukanlah mengajarkan kepengecutan, melainkan mengajarkan keberanian untuk mengungkapkan keyakinan ditengah badai keyakinan lainnya. Jika memang bangunan keyakinan kita kukuh dan utuh, maka model dekonstruksi apapun akan kehilangan daya ledaknya. Namun, jika kepengecutan yang meliputi bangunan keyakinan kita, maka kita tak lain hanya menjadi pecundang dengan menjadikan agama sekedar alat yang dikeramatkan....wallahu a'lam. (CaRe)


LONCENG KEMATIAN AGAMA


Krisis agama semakin kentara, setahap demi setahap bangunan megah nalar modern dan postmodern menggeser nalar agama ke kolong-kolong jembatan dan kaki-kaki lima. Memang, belakangan ini, terlihat mulai ramainya pengajian-pengajian, padatnya tempat-tempat ibadah, maraknya majelis-majelis zikir, munculnya perdagangan syariah, dan sebagainya yang semuanya membawa simbol agama kepermukaan dari ketenggelamannya selama ini. Namun, ragam seremonial keagamaan itu belum mampu menaikkan citra agama ditengah badai terorisme, korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan terlebih lagi kekerasan dan konplik keagamaan. Ini berarti, “pelecehan terhadap agama” tidak saja dilakukan oleh kalangan anti agama melainkan juga oleh kumpulan umat pecinta agama.

Bagi komunitas anti agama (bahkan anti Tuhan, ateisme), melihat agama tak lain merupakan ekspresi manusia dalam menghadapi kemelut kehidupannya dan kebuntuan nalar mencari jawabnya. Bagi sebagian ahli, Anak diibaratkan kertas kosong (tabularasa) yang tidak memiliki pembawaan apapun termasuk jiwa religius. Mereka memandang manusia sebagai bentuk, bukan secara kejiwaan, dan menganggap bahwa manusia pada awalnya tidaklah beragama. Keberagamaan timbul dikarenakan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupannya di dunia ini.

Singkatnya, agama bukanlah hal yang asasi dalam diri dan kehidupan manusia, tetapi hanya merupakan suatu yang fungsional dan pragmatis, yang menekankan segi egoistis (ananiyah) manusia yang ingin menjadikan agama sebagai alat bagi kepentingannya sendiri. Pandangan-pandangan seperti ini dapat kita lihat dari tulisan-tulisan yang diajukan oleh Sigmund Frued , Karl Marx, Emile Durkheim , Williem James , dan lain-lainnya.

Bagi Sigmund Freud (1856-1939) sang pendiri psikoanalisis, memandang agama merupakan gangguan pikiran (obsesi/obsession), atau juga sebagai khayalan (illusion) dan pemenuhan keinginan (libido/nafsu) masa kanak-kanak yang terhambat (fiksasi). Libido merupakan energi seksual yang mesti disalurkan agar mendatangkan lust (kenikmatan). Ketegangan libido dan penyalurannya berlangsung terus menerus berdasarkan lustprinzip (asas kelezatan atau mencari nimat). Jika tidak tersalurkan atau terhambat pemuasan penyalurannya, maka akan mendatangkan ketidaksenangan dan kekecewaan (frustrasi) pada diri individu. Teori ini diperkuat Freud dengan mengedepankan kasus Oedipus Complex yang menyukai ibunya, namun terhambat karena keberadaan ayahnya, akhirnya ia membunuh ayahnya demi menyalurkan libidonya yang terpendam. Namun perbuatan itu mendatangkan penyesalan yang pada puncaknya terjadi penyembahan kepada ayahnya. Inilah awal dari munculnya agama.

Keadaan frustrasi ini mengarahkan manusia pada sublimasi yaitu merubah energi seksualnya kepada dimensi lain yang bisa memuaskan atau mengurangi tingkat frustrasinya. Perubahan energi seksual ini dapat mengarah pada dimensi atau energi rasional dan rohani yang menjadi dasar munculnya agama.

Secara sosial, Emile Durkheim, dedengkot sosiologi agama berkesimpulan bahwa keyakinan agama merupakan sistem sosial yang diciptakan masyarakat, atau agama sebagai ciptaan manusia yang berkoloni. Agama yang diciptakan itu dimanfaatkan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan kehidupan bersama dalam kelompok atau masyarakatnya.

Merujuk pada analaisis Huston Smith dalam "Why Religion Matters", dalam memasuki abad modern, mulai terjadi pembunuhan pada agama. Hal itu dilakukan oleh dua raksasa yang berkuasa, yaitu kekuasaan politik (politikisme) dan kekuasaan sains (saintisme) yang tersimpul dalam satu ideologi modern yakni sekularisme.

Sains— dalam balutan sekularisme berubah menjadi saintisme— berdiri atas nama metode ilmiah, yang menggantikan posisi wahyu sebagai jalan menuju pengetahuan. Secara konseptual, itu membentuk pandangan dunia ilmiah, sementara teknologinya membentuk dunia modern. Sebagai akibatnya, agama dipinggirkan, baik secara intelektual maupun politik. Sedangkan secara politik—yang dalam balutan sekularisme menjadi politikisme—, transportasi dan perpindahan penduduk yang lebih mudah memperkenalkan gejala baru dalam sejarah : pluralisme kultural. Hasilnya adalah penyingkiran agama dari kehidupan publik karena agama membeda-bedakan, sementara politik justru mau mengupayakan landasan bersama yang dapat menengahi perbedaan-perbedaan warganya. Sedangkan secara intelektual, sains tidak mempunyai tempat bagi wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan ketika kaum modernis semakin cenderung berpikir dengan sains dalam soal-soal kebenaran, kepercayaan kepada wahyu semakin hilang

Memang, tidak semua ahli sinis terhadap agama, namun loncengl telah dibunyikan komunitas anti agama untuk memberi tanda istirahatnya agama dari perjuangan panjangnya. Meskipun usaha mereka belum mampu menyingkirkan agama, namun setidaknya berhasil membatasi ruang gerak agama untuk bermain hanya dilokasi individunya, tempat tingalnya, atau rumah ibadahnya. Selebihnya, lokasi terlarang untuk agama......utk itu kita menunggu pencerahannya dari kawan2 semua.... wallahu a'lam. (CaRe)

VISI KESATUAN AGAMA-AGAMA


"Katakanlah : 'Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya." (Q.S. al-Baqarah : 136)


Selain ayat diatas, masih banyak ayat al-Quran yang mengindikasikan bahwa agama sebenarnya satu (Q.S al-Baqarah: 111-112, 136; ali Imran: 64; An-Nisa: 150, 163; al-Syura: 13; Saba: 28; al-Anbiya: 25..dll). Ini berarti semua agama memiliki "NASAB SAMAWI" yang bersumber dari wahyu ilahi. Namun, implementasinya dalam setiap zaman mengambil format khusus yang berkesesuaian dengan kondisi dan situasi zaman ditambah dengan dialektikanya dalam kehidupan dan nalar manusia yang menghasilkan hermeneutika panjang dalam proses penduniawian hal-hal yang samawi sekaligus pensamawian hal-hal yang duniawi. Hubungan timbal balik ini menghasilkan polarisasi agama yang awalnya satu menjadi beragam dalam tampilannya.

Dengan demikian agama berevolusi menuju kesempurnaannya yang termanifestasi dalam kebertingkatan yang satu sekaligus banyak. Ini berarti ada dimensi yang melandasi seluruh tampilan agama yang beragam.

Dalam perbincangan filosofis, Tuhan menciptakan makhluk melalui tajalli dirinya (emanasi, isyraq) sehingga terciptalah makhluk pertama yang satu (akal satu), karena dalam kaedah filsafat “satu hanya mengeluarkan satu” (al-wahid la yashduru minhu illa wahid). Kemudian dari akal satu terciptalah akal-akal berikutan hingga akal terakhir yang mentajallikan alam mitsal (alam ide, alam barzakh). Dari alam mitsal inilah kemudian muncul alam materi. Di sini terlihat bahwa ada tingkatan wujud (gradasi wujud) yang terbentang dari Tuhan – alam akal - alam mitsal - hingga alam materi. Secara filosofis tingkatan ini menggambarkan bahwa wujud sebenarnya satu, namun punya penampilan yang beragam (wahdat al-wujud fi ainil katsrah). Jadi, munculnya keragaman itu senyatanya dapat dikembalikan kepada kesatuan (yakni wujud).

Jadi, kesatuan nasab agama-agama, secara esensial merupakan pancaran cahaya ketuhanan saat mengenalkan diri-Nya pada wilayah abstrak dan konkrit. Manusia sebagai makhluk beragama dengan berbekal potensinya akan menangkap pancaran cahaya tersebut sesuai kapasitas dan kesiapannya masing-masing. Semua menangkap cahaya ketuhanan, hanya saja dalam tingkat intensitas yang beragam, berbeda dan bertingkat. Hal itu disebabkan karena keterbatasan pemahaman, keterbatasan bahasa pengungkapan, kebutuhan zaman, dan pelembagaan dalam komunitas bersama. Ini berarti Realitas (al-Haq) sebagai kenyataan yang satu, direspon dalam ragam persepsi yang dinyatakan. Persepsi yang dinyatakan ini jika mendapat kesesuaian dengan Realitas (al-Haq) maka akan menghasilkan kebenaran, namun, jika tidak, berarti mental manusia telah salah menangkap pancaran al-Haq (Realitas).

Dengan memahami hal di atas, maka keragaman bukanlah hal yang esensial, melainkan kesatuan itulah yang sebenarnya menjadi pusat perhatian kita. Karena itu visi kesatuan agama berorientasi untuk mendudukkan aneka agama dalam realitas kesatuan yang didambakan... karena itu perbedaan dalam memeluk agama tidak layak menjadikan umat berada dalam konflik dan perpecahan..

Perhatikan visi kesatuan agama-agama yg ditetapkan kitab suci berikut ini :

"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: 'TEGAKKANLAH AGAMA DAN JANGANLAH KAMU BERPECAH BELAH TENTANGNYA'. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)." (asy-Syura : 13). wallahu a'lam. (CaRe)

VISI DIALOG ANTAR AGAMA DAN MAZHAB


Ada dua kejadian yang saya alami dalam dialog antar agama dan mazhab :

1. Dalam sebuah diskusi antar Agama (Islam - Kristen) seorang pembicara dari Kristen sembari mengutip ayat al-Quran menegaskan bahwa Islam agama fatalis dan mengajarkan kemalasan karena semuanya sudah ditentukan Tuhan... saya katakan, dalam persolan ini ayat tersebut tidak mengajarkan fatalis dan utk memahaminya secara utuh harus dikomparasikan dengan ayat-ayat lain. Maka saya tunjukkan beberapa ayat al-Quran yg mengajarkan kebebasan dan ikhtiar manusia. Akhirnya beliaupun bisa menerimanya, dan diskusi berlanjut dengan hangat dan penuh damai.

2. Dalam sebuah dialog Nasional sunni-syiah dengan tema "Syiah. Islamkah ? di Medan, seorang pembicara menuduh syiah kafir dengan alasan bahwa syiah "menuhankan para imamnya" berdasarkan hadits yg diriwayatkan dalam al-Kafi dan ajaran mereka dipenuhi dongeng-dongeng. Kebetulan pada saat itu sy membawa beberapa kitab syiah termasuk kitab al-Kafi dan saya buka kemudian saya bacakan haditsnya, ternyata apa yg dituduhkan tidak sesuai dengan isi hadits tersebut. Sambil 'marah' si pembicara berkata : ... "kita tidak perlu dialog degan org kafir karenanya saya permisi meninggalkan seminar ini utk menuju bandara karena pesawat saya sebentar lagi berangkat!". Akhirnya beliaupun pergi dan meninggalkan ruangan seminar. Panitia minta maaf, dan meminta saya utk melanjutkan seminar sendirian. sSasanapun menjadi kurang nyaman.

Dua kasus itu mengajarkan kepada saya bahwa dialog membutuhkan kesabaran, argumentasi, rujukan, dan yg terpenting harus saling menerima secara positif (husnuz zhan) terlebih dahulu....!!!!

Tuhan berfirman : “Dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang musyrik) pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas dosa yang kami lakukan, dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu lakukan.” (Q.S. Saba: 24).

Ayat ini, berisikan beberapa poin penting yg universal dalam suatu dialog :
  1. Menanamkan dialog yang fair yaitu “mengakui bahwa dalam dialog dimungkinkan kita yang salah atau benar dan boleh jadi lawan kita yang salah atau benar.”
  2. Menanamkan kearifan dengan tidak menyerang pribadi lawan, melainkan fokus pada argumentasi.
  3. Menanamkan husnuz zhan (prasangka baik) terhadap lawan bicara dengan mengakui amal-amalnya.
  4. Menanamkan pertanggungjawaban individual dan sosial.
Menurut Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat), dalam melakukan studi perbandingan dan dialog, secara umum orang dapat melakukan dengan tiga pendekatan :

Pertama, pendekatan Apologetis, yang membicarakan berbagai keyakinan (agama/mazhab) untuk menegaskan dan membela keunggulan agamanya/mazhabnya. Untuk itu, dikumpulkanlah perbedaan-perbedaan agama (mazhab) dan berusaha menunjukkan kelemahan agama (mazhab) orang lain. Di sini, seseorang mengkonstruksi agama (mazhab) orang lain melalui perspektifnya.

Kedua, Pendekatan Fenomenologis, yaitu berusaha memahami setiap agama (mazhab) dari kerangka agama (mazhab) itu sendiri. Dengan pendekatan ini, seseorang melihat berbagai agama (mazhab) sebagai perspektif-perspektif yang beragam dalam memahami Tuhan.

Ketiga, Pendekatan Ukhuwah, yang melihat berbagai agama (mazhab) dengan upaya memahami agama-agama (mazhab-mazhab) itu dengan tidak mempersoalkan perbedaannya, tetapi lebih mengutamakan titik-titik persamaan yang ada.

Dengan demikian, dalam dialog antar agama (mazhab), kesimpulan dan analisis yang ditemukan tergantung pada pendekatan yang kita gunakan. Pendekatatan pertama, memiliki kecenderungan monolog (mau menang sendiri), sedangkan kedua dan ketiga memberikan ruang dialog (sharing informasi), sekaligus upaya mencari kebenaran dgn argumentatif.

Dalam dialog antar agama (mazhab), setiap agama (mazhab) mesti dipandang sebagai sarana yang sakral dan suci, sehinga tidak selayaknya dikotori dengan sikap-sikap emosional, pemaksaan, pragmatis, dan arogansi yang menekankan segi egoisme dan egotisme yang ingin menjadikan agama (mazhab) sebagai keinginan dan miliknya sendiri, yang kemudian dieksploitasi untuk memenuhi segala tuntutan dan kepentingan hasrat-hasrat tiranisnya....wallahu a'lam. (CaRe)

HERMENEUTIKA : MEMBONGKAR SAKRALISASI TEKS KEAGAMAAN


Beberapa dasa warsa yang lalu, jagad intelektual Islam dihebohkan dengan kasus seorang profesor kajian Islam dan studi Bahasa Arab di Universitas Kairo, Mesir, karena divonis murtad dan harus menceraikan isterinya. Pasalnya, ia dituduh bahwa sekumpulan karya-karyanya telah mengotori akidah islam tentang ketuhanan, malaikat, kesucian al-Quran, Kenabian, dan keyakinan lainnya.

Karena desakan kuat dan situasi yg tidak memungkinkan, maka pada tahun 1995, profesor tersebut beserta isterinya dengan berat hati pergi 'mengasingkan diri' meninggalkan Mesir dan menetap di Leiden, Belanda untuk menjadi guru besar tamu dibidang Kajian Islam di Universitas Leiden, Belanda hingga kini. Siapakah dia..?? bagi pengkaji studi pemikiran Islam kontemporer, khususnya kajian al-Quran, pasangan intelektual Islam ini tidaklah asing lagi..dialah Prof. Nasr Hamid Abu Zaid dan isterinya Prof. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis. Nasr Hamid Abu Zaid kemudian dikenal sebagai salah satu pioner pengembang dan pendukung setia proyek hermeneutika al-Quran.

Salah satu persoalan utama hermeneutika kitab suci adalah persoalan teks al-Quran. Apakah teks al-Quran bersifat Ilahiah dan sakral, atau bersifat manusiawi dan profan..???

Menurut pendapat jumhur, teks al-Quran bersifat ilahiah dan sakral..sedangkan sebagian kecil pendapat menganggap teks al-Quran bersifat manusiawi dan profan. Tanpa ingin masuk pada perbedatan panjang tentang hal ini, saya dapat simpulkan bahwa pendapat yang kedua ini menjadi pegangan utama kalangan pendukung hermeneutika, seperti Nasr Hamid Abu Zaid.

Nasr Hamid Abu Zaid, memulai rekonstruksinya dengan keyakinan bahwa al-Quran adalah ‘karya keagamaan’, kitab petunjuk, seperti yang pernah dikatakan Abduh. tetapi bagaimana kita bisa mencapai petunjuk itu? Bagaimana seharusnya kita memahami teks, agar petunjuk tersebut bisa di raih?. Kita harus ‘menafsirkannya’. Al-Quran adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan ‘saluran’, yakni berupa bahasa Arab. Untuk meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih dari hanya sekedar disiplin filologi. Analisis ini menempatkan al-Quran sebagai teks poetik yang terstruktur. Oleh karenanya, al-Quran tidak masuk kategori teks puisi, sebaliknya ia tetap sebagai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi.” (Abu Zaid, 2004 : xiv)

Bagi Abu Zaid proses turunnya wahyu merupakan suatu aktivitas komunikasi yg secara alami terdiri dari empat unsur yaitu Tuhan sbg Sumber Pembicaraan; Nabi Muhammad sebagai penerima; Bahasa Arab sebagai tanda komunikasi; dan Ruh Suci (Malaikat Jibril) sebagai penghubung."

Menariknya, karena Tuhan sebagai Wujud Gaib Mutlak Tak Terbatas dan tidak mungkin terjangkau, maka Tuhan sebagai Pengarang (Author) kitab suci harus dikesampingkan. Ini artinya secara tidak langsung Abu Zaid menahbiskan "Kematian Tuhan"... karena itu saat ini kita hanya berhubungan dengan teks kitab suci dan dialektika zaman. Lantas apa yang harus kita lakukan terhadap teks al-Quran tersebut..?

Bagi Hasan Hanafi, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu atau teori interpretasi dan memahami teks, tetapi juga mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari huruf ke realitas atau dari logos ke praktis, selanjutnya tranformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata. Tiga tahapan hermeneutika menurut Hasan hanafi adalah :
  1. Kritik sejarah untuk membuktikan otentisitas kitab suci menurut sejarah.
  2. Proses memahami teks dengan teori interpretasi untuk mendapatkan pengertian/pemahaman yang tepat.
  3. Proses merealisasikan maknanya dalam kehidupan nyata.
Dalam bahasa fenomenologi, lanjut Hanafi, kita dapat mengatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dengan objeknya, yaitu kitab suci. Pertama, kita memiliki ‘kesadaran historis’, yang memastikan otentisistas teks dan tingkat keabsahannya. Kedua, kita mempunyai ‘kesadaran eidetik’ yang menjelaskan makna teks, sehingga menjadi rasional. Ketiga, kita memiliki ‘kesadaran praktis’, yaitu menjadikan makna teks sebagai dasar teori dalam kehidupan nyata dan alam semesta sebagai suatu tatanan ideal di mana dunia mencapai kesempurnaannya. (Hasan Hanafi, tt : 19).

Kemudian karena teks kitab suci itu berbahasa Arab, dan secara teologis diyakini bahwa Tuhan tidak berkata-kata dengan bahasa tertentu, maka berarti teks al-Quran bersifat manusiawi. Kemanusiawian teks al-Quran, merupakan aktivitas jenius Nabi Muhamamd saaw sebagai penerima teks dengan Malaikat Jibril as sebagai penghubung. Dengan demikian wahyu ialhiah yang "dipancarkan" dari kalam ilahi yg gaib, telah diterjemahkan ke "kalam manusiawi" utk diucapkan dan dituliskan. "Teks manusiawi" inilah yang kita baca dan kita tafsirkan sepanjang sejarah umat Islam.

Selanjutnya, karena bahasa Arab merupakan produk bangsa Arab yg mengalami dealektika dengan realitas kehidupan mereka baik sosial, ekonomi, budaya dan peradaban, maka secara tidak langsung teks al-Quran merupakan "produk kebudayaan" atau "produk sejarah"...

Namun, karena al-Quran merespon kebudayaan-kebudayaan masa itu, maka al-Quran juga memberikan andil besar dalam membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem budaya masyarakat Arab, bahkan bahasa Arab dalam beberapa kondisi harus menyesuaikan diri dengan bahasa al-Quran sehingga mampu mengubah pola pikir dan kehidupan sosial bangsa Arab. Pada titik ini, teks al-Quran yang awalnya "produk kebudayaan" dan "Produk sejarah" menjadi "produsen atau pembentuk kebudayaan" serta "pembentuk sejarah" (marhalah at-tasykil).... dititik ini kita melihat mercusuar Islam mengubah bangsa Arab yang badui menjadi bangsa berperadaban dan menciptakan peradaban yang melampaui berbagai budaya dan tradisi yang pernah ada di jagad raya ini.... ini berarti teks al-Quran bukanlah teks mati, tetapi teks hidup, yang menggerakkan hati, pikiran, dan seluruh potensi kekuatan manusia untuk menciptakan "Peradaban yang Revolusioner sepanjang sejarah"....wallahu a'lam.

FILSAFAT SEBAGAI WARISAN PERADABAN ISLAM

Telah menjadi ittifaq para ahli bahwa filsafat dengan nalar burhani-nya merupakan salah satu warisan berharga nalar Islami, selain bayani (fiqih), dan irfani (tasauf). Muhammad Abid al-jabiri dengan baik telah membahas trilogi nalar islami ini dalam kitabnya "Bunyah al-Aql al- Araby"...bagi para pemikir Islam kontemporer seperti al-Jabiri, Hasan hanafi, al-Afghani, dan Sir. Iqbal Lahore, meninggalkan filsafat (nalar burhani) merupakan penghancuran dan bunuh diri bagi peradaban Islam.

Bagi Hasan Hanafi, ini merupakan turas berharga yang sangat sukses mempertahankan eksistensi ajaran Islam, disamping Ilmu Kalam, Ushul Fiqh, dan Tasauf. Lebih lanjut, menurut Hanafi, meskipun Ilmu Kalam mirip dengan filsafat dan merupakan tradisi berpikir warisan Islam yang agung namun filsafat memiliki kelebihan sendiri, diantara kelebihan tersebut –dengan bahasa yang dipersingkat—adalah :
  1. Merubah teologi menjadi ontologi. Di sini filsafat tidak hanya berbicara tentang Tuhan tetapi tentang wujud secara umum.
  2. Tidak membutuhkan metode nash yang dominan dalam ilmu kalam. Filsafat telah menancapkan rasionalisme Islam yang independent disamping kalam yang menujudkan kebenarannya dari formulasi makna-makna wahyu.
  3. Filsafat telah mengungkapkan dimensi misteri dalam nash agama, stile-stile imaginer dan bentukbentuk seni, kemudian ia melompat menuju metaimaginasi yang membebaskan dirinya dari bentuk-bentuk seni dan menghancurkan keharfiahan makna.
  4. Melepaskan dari bahasa teologi yang tertutup dan tunduk pada rumus keagamaan, menuju jalan rasional, terbuka, dan humanis.
  5. Filsafat mampu menggabungkan teori-teori yang berserakan yang ditinggalkan ilmu kalam.
  6. Filsafat telah menghapuskan keterpecah belahan firqah-firqah menjadi semangat yang tunggal dominan.
  7. Filsafat mencerminkan ufuk yang lebih luas, lebih sempurna dan universal ketimbang ilmu kalam.
  8. Secara prinsip, filsafat berlandaskan pada pembuktian dan membahas kepastian internal, rasional dan natural, sementara ilmu kalam selalu bertumpu pada polemic (retorika) dan jadaliyah (debat) yang lebih bertujuan membungkam lawan daripada mencari kebenaran. (Hasan Hanafi. Turas dan Tajdid. h. 225-234).
Dengan nalar filsafat, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan apologetik dengan kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun disisi lain sangat takut atau bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner dipertentangkan dengan hasil-hasil sains yang faktual.

Meskipun demikian, filsafat bukanlah alat untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan agama, tetapi lebih sebagai alat bantu yang dipertimbangkan untuk dapat menafsirkan agama dengan benar, aktual, dan fungsional. Ini bukanlah usaha apologetis tetapi ijtihadis. Dengan cara ini Filsafat akan Memberikan ketelitian manusia dalam berpikir, sehingga berimplikasi memperkuat keyakinan agama dan kebenaran ajaran yang dianutnya.

Salah satu yang menyebabkan tertancapnya akar keyakinan beragama secara kuat adalah paradigma dan ideologi yang dianut. Ideologi pada dasarnya merupakan tumpuan agama yang diperoleh dari pandangan dunia (al-ru’yah al-kauniyah; world view) yg menafsirkan secara universal keberadaan hirarki wujud semesta. Al-ru’yah al-kauniyah ini sebagai hasil kajian dan penalaran yang memberikan kesimpulan tentang alam jagat raya (makrocosmos), tentang manusia (mikrokosmos), masyarakat dan sejarahnya, diperoleh dari analisis filosofis yang matang yang berasaskan pada epistemologi islami. Dengan demikian jelaslah, bahwa nalar filsafat dgn asumsi2 metafisisnya, onotologis, epistemologis, aksiologis, visi, dan sistem nilai membantu manusia membangun keyakinannya.

Di jurusan lain, jika kita menelusuri ayat-ayat al-Quran yang tersurat, yang tersirat, maupun yang tersuruk, maka, walaupun al-Quran bukanlah kitab filsafat yang diilhami melalui refleksi filosofis, namun tak mungkin pula kita pungkiri bahwa al-Quran memuat unsur-unsur yang filosofis, rasional, dan memancing nalar untuk melakukan fikr yang argumentatif.

Perhatikanlah ayat-ayat berikut ini :

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (Yaitu) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya mereka berkata) : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. (Q.S. Ali Imran: 190-191)

“Seandainya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Q.S. al-Anbiya: 22); “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) kamu akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu” (Q.S. Fathir: 43).

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika filsafat dikatakan sebagai salah satu model al-Quran berdalil. Bahkan hal ini diperkuat, jika kita merujuk pada pembagian filsafat secara umum, yang dibagi pada dua yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat Teoritis adalah mengkaji sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan Filsafat Praktis berarti membahas bagaimana mestinya manusia bertindak, baik dalam poisisi individual maupun sosial.

Dengan makna ini, meskipun pada dasarnya filsafat ingin mendapatkan informasi seakurat mungkin tentang wujud, baik itu wajib al-wujud (Tuhan) sebagai sumber keberadaan, maupun mumkin al-wujud (wujud makhluk) sebagai efek keberadaan wajib al-wujud, akan tetapi titik terang pencarian informasi yang benar melalui refleksi filosofis harus pula diaplikaskan dalam bertindak yang benar sejauh amal perbuatan. Inilah ciri khas filsafat dan filosof Muslim....wallahu a'lam...

{tulisan ini bisa juga diakses di www.abuthalib.co.cc)

MENGHIDUPKAN KEMBALI NALAR FILSAFAT


Meskipun dilanda kemunduran dan kini mulai bergerak mengejar ketertinggalannya, namun sepanjang sejarahnya, Islam telah menjadi bagian terbesar peyumbang kontribusi peradaban dunia. Tak mungkin terlupakan bahwa Islam pernah menjadi mercusuar bahtera manusia dalam mengarungi kehidupan di semesta raya ini dengan warisan ilmu pengetahuan yang sangat berharga. Mata air pengetahuan ini hingga kini masih terus diwarisi oleh generasi ke generasi berikutnya. Diantara sekian pengetahuan itu, patut pula dibanggakan filsafat sebagai satu fondasi intelektual Islam yang memberikan kedalaman makna dibalik pesan-pesan ketuhanan yang tekstual.

Dalam tarikh Islam, filsafat menjadi jembatan emas bagi aql (rasio) dan naql (wahyu). Banyak filosof menghabiskan lembaran-lembaran kitabnya untuk menunjukkan keselarasan antara pesan-pesan langit (wahyu) dengan perolehan-perolehan dari bumi (pikiran manusia). Meskipun api filsafat Islam itu tak pernah padam, namun terpaan badai terkadang meredupkan cahayanya.

Keredupan cahaya dan stagnasi filsafat di dunia Islam umunya, setidaknya dikarenakan beberapa hal :
  • Masih adanya kesan negatif pada filsafat yang dilontarkan oleh para ulama sehingga menjadi salah paham, dicurigai dan dibenci.
  • Politisasi agama untuk mengkebiri berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat.
  • Filsafat menjadi momok dan terkesan elit untuk mempelajarinya. Wajah filosof lebih digambarkan sebagai orang yang berkepala botak dengan kening berkerut dan wajah yang masam cemberut.
  • Pengajaran filsafat dilakukan dengan pendekatan dan metode yang kaku, tidak menarik dan rumit.
  • Tidak ada dukungan penuh dari lembaga atau tokoh yang berkompeten.
  • Berkembangnya ilmu-ilmu empiris dan teknologi praktis yang membawa dampak pada sikap pragmatis.

Lemahnya perkembangan filsafat di dunia Islam, berakibat kebekuan dan stagnasi pemikiran Islam serta gersangnya interpretasi doktrin agama dalam usaha mengukuhkan keyakinan agama. Oleh karenanya, ‘mati suri intelektual’ ini mesti diobati dengan sungguh-sungguh dalam agenda yang saya sebut sebagai proyek “Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Filsafat (Ihya ulum al-falasifah).”

Dengan harapan yang besar itu, saya mengajak teman2 utk melakukan usaha kecil menyumbang secuil pemikiran dalam usaha mengembalikan mahkota filsafat pada singgasananya semula dan secara bertahap mari kita menciptakan sebuah “Laboratorium Filsafat”, baik didunia "maya" (internet) maupun didunia "nyata" (pribadi dan komunitas).

Jadi..sebuah keharusan yang menjadi kerja keras kita adalah mengembalikan filsafat sebagai nalar Islami yang mengalirkan ruh kehidupan diseluruh unsur pengetahuan dan tafsiran ajaran Islam, yang mulai gersang dari percikan mata air kudus rasionalitas. Semoga! (CaRe)