Powered By Blogger

Senin, 15 Februari 2010

ISYRAF


Isyraf artinya melampaui batas. Dalam studi akhlak isyraf adalah melakukan sesuatu yang berlebihan dan melampaui batas-batas yang seharusnya. Orang yang berbuat isyraf disebut musyrif, musrifun atau musrifin.

Suatu hari Rasulullah saaw melewati Sa’d yang sedang berwudhu. Kemudian belaiau mengatakan kepadanya, ‘Mengapa kau berlebih-lebihan (dalam menggunakan air) wahai Sa’d? Sa’d kemudian bertanya, ‘Apakah ada sikap berlebih-lebihan dalam berwudhu?’ Nabi saaw menjawab, ‘Ya, sekalipun kau berada di dekat sungai.’

Isyraf termasuk perilaku tercela, yang mendatangkan kerugian bagi diri pribadi dan kehidupan masyarakat. Isyraf juga dapat terjadi pada perbuiatan yg dihalalkan Allah swt, sebagaiman disebutkan al-Quran : “…makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. al-An’am : 141)

Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang membelanjakan harta di jalan yang halal, apakah bisa dihinggapi sifat berlebih-lebihan? Imam Ja’far Shadiq menjawab, ‘Ya, hal itu bisa menimbulkan berlebih-lebihan. Orang yang memberi zakat dan menyedekahkan harta bendanya secara berlebihan, dan tidak menyisakan sesuatu pun untuk dirinya sendiri, berarti telah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta di jalan yang halal.’

Perbuatan yang berlebihan (isyraf) dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, Isyraf dapat terjadi pada kebutuhan-kebutuhan sehari-hari yang primer seperti saat makan, minum, atau berpakaian : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-A’raf : 31)

Begitu pula, sikap berlebihan dapat terjadi dalam pelaksanaan hukum atau keputusan pengadilan, di mana keputusan mengandung kepalsuan dan kedustaan (lihat Q.S. Ghafir : 28) Kadangkala, berlebih-lebihan juga terjadi dalam konteks kepercayaan, yang membawa pada keraguan (lihat Q.S. Ghafir : 34). Dan adakalanya sikap berlebihan digunakan dalam pengertian mengunggulkan diri, arogansi, dan eksploitasi (lihat Q.S. ad-Dukhan : 31) Kemudian, isyraf juga digunakan untuk menyebut dosa dan kesalahan apapun bentuknya (Q.S. az-Zumar ayat 53).

Dengan memperhatikan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa sikap dan tindakan berlebih-lebihan adalah sejenis kerusakan, baik kerusakan diri maupun kerusakan (kerugian) harta. Untuk itu, sebagai umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah saaw, maka kita dilarang untuk bertindak secara berlebih-lebihan.

Islam adalah agama pertengahan, maka kita juga diperintahkan untuk bersikap pertengahan (moderat) atau hidup sederhana. Hidup sederhana, bukanlah hidup dengan kekurangan, tetapi hidup sesuai kebutuhan. Di antara cara hidup moderat (pertengahan) agar terhindar dari sifat isyraf adalah dengan cara mengurangi keinginan-keinginan kita terhadap benda-benda yang tidak menjadi kebutuhan penting. Kemudian, menyadari kerugian-kerugian isyraf bagi diri dan keluarga kita, serta kehidupan sosial kemasyarakatan.

Sadarilah, disaat kita makan dan berpakaian dengan berlebihan, maka di sisi lain ada orang-orang yang kurang makan, kurang gizi, dan mati kelaparan, serta tidak dapat berpakaian selayaknya. Karena itu, hiduplah dengan perencanaan untuk masa depan dan berhematlah. Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqan/25 : 67). wallahu a’lam (CaRe, 10 Ramadhan 1430 H)

Sabtu, 13 Februari 2010

ISYRAF


Isyraf artinya melampaui batas. Dalam studi akhlak isyraf adalah melakukan sesuatu yang berlebihan dan melampaui batas-batas yang seharusnya. Orang yang berbuat isyraf disebut musyrif, musrifun atau musrifin.

Suatu hari Rasulullah saaw melewati Sa’d yang sedang berwudhu. Kemudian belaiau mengatakan kepadanya, ‘Mengapa kau berlebih-lebihan (dalam menggunakan air) wahai Sa’d? Sa’d kemudian bertanya, ‘Apakah ada sikap berlebih-lebihan dalam berwudhu?’ Nabi saaw menjawab, ‘Ya, sekalipun kau berada di dekat sungai.’

Isyraf termasuk perilaku tercela, yang mendatangkan kerugian bagi diri pribadi dan kehidupan masyarakat. Isyraf juga dapat terjadi pada perbuiatan yg dihalalkan Allah swt, sebagaiman disebutkan al-Quran : “...makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. al-An’am : 141)

Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang membelanjakan harta di jalan yang halal, apakah bisa dihinggapi sifat berlebih-lebihan? Imam Ja’far Shadiq menjawab, ‘Ya, hal itu bisa menimbulkan berlebih-lebihan. Orang yang memberi zakat dan menyedekahkan harta bendanya secara berlebihan, dan tidak menyisakan sesuatu pun untuk dirinya sendiri, berarti telah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta di jalan yang halal.’

Perbuatan yang berlebihan (isyraf) dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, Isyraf dapat terjadi pada kebutuhan-kebutuhan sehari-hari yang primer seperti saat makan, minum, atau berpakaian : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-A’raf : 31)

Begitu pula, sikap berlebihan dapat terjadi dalam pelaksanaan hukum atau keputusan pengadilan, di mana keputusan mengandung kepalsuan dan kedustaan (lihat Q.S. Ghafir : 28) Kadangkala, berlebih-lebihan juga terjadi dalam konteks kepercayaan, yang membawa pada keraguan (lihat Q.S. Ghafir : 34). Dan adakalanya sikap berlebihan digunakan dalam pengertian mengunggulkan diri, arogansi, dan eksploitasi (lihat Q.S. ad-Dukhan : 31) Kemudian, isyraf juga digunakan untuk menyebut dosa dan kesalahan apapun bentuknya (Q.S. az-Zumar ayat 53).

Dengan memperhatikan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa sikap dan tindakan berlebih-lebihan adalah sejenis kerusakan, baik kerusakan diri maupun kerusakan (kerugian) harta.
Untuk itu, sebagai umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah saaw, maka kita dilarang untuk bertindak secara berlebih-lebihan.

Islam adalah agama pertengahan, maka kita juga diperintahkan untuk bersikap pertengahan (moderat) atau hidup sederhana. Hidup sederhana, bukanlah hidup dengan kekurangan, tetapi hidup sesuai kebutuhan. Di antara cara hidup moderat (pertengahan) agar terhindar dari sifat isyraf adalah dengan cara mengurangi keinginan-keinginan kita terhadap benda-benda yang tidak menjadi kebutuhan penting. Kemudian, menyadari kerugian-kerugian isyraf bagi diri dan keluarga kita, serta kehidupan sosial kemasyarakatan.

Sadarilah, disaat kita makan dan berpakaian dengan berlebihan, maka di sisi lain ada orang-orang yang kurang makan, kurang gizi, dan mati kelaparan, serta tidak dapat berpakaian selayaknya. Karena itu, hiduplah dengan perencanaan untuk masa depan dan berhematlah. Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqan/25 : 67). wallahu a'lam (Medan 10 Ramadhan 1430 H)


TABZIR


Tabzir berasal dari kata badzr yang artinya boros, yaitu mengeluarkan sesuatu (seperti harta) tanpa tujuan atau secara salah atau sia-sia belaka. Misalnya, menyediakan makanan yang cukup untuk sepuluh orang terhadap dua orang tamu, sehingga makanan itu sia-sia.

Allah berfirman : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra/17 : 26-27)

Imam Ja’far Shadiq ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa orang yang mengeluarkan uang untuk maksiat kepada Allah, sesungguhnya ia telah melakukan tabzir.

Ayat ini juga menegaskan bahwa boros merupakan salah satu perilaku setan, karenanya, jika seseorang melakukan pemborosan, maka ia telah mengikuti jejak langkah setan, dan telah menjadi sahabat atau saudaranya setan. Ini berarti, orang yang boros bukan hanya di bawah pengaruh setan, tetapi juga telah bekerjasama dengan setan dan membantu pekerjaannya. Hal ini karena, pemborosan merupakan perbuatan merusak nikmat dan tanda tidak bersyukur akan pemberian Allah swt.

Pemborosan sering terjadi dalam masalah keuangan. Akan tetapi, boros juga dapat merujuk pada nikmat-nikmat lain seperti anggota tubuh, mata, tangan, kaki, pikiran, telinga, dan lainnya. Jika seseorang menggunakan anggota tubuhnya, untuk melakukan maksiat kepada Allah, maka ia telah melakukan pemborosan dan kufur nikmat. Begitu pula, boros dapat terjadi menyia-nyiakan umur, seperti ‘menyia-nyiakan masa muda hanya untuk hura-hura’, ‘menyia-nyiakan waktu belajar’, ‘menyia-nyiakan amanah dan tanggung jawab’, atau juga melakukan hal-hal lain yang tidak bermanfaat. Semua itu merupakan perbuatan tabzir.

Ibadah puasa pada dasarnya mengajarkan kita untuk menghindari sifat mubazir ini. Kita diajarkan untuk mengendalikan nafsu jasmaniyah dan juga nafsu ruhaniah. Kita dilatih utk menjaga makanan, minuman, kesenangan, pikiran, hati, pembicaraan, dan seluruh potensi diri untuk mencapai pencerahan dan kedekatan pada ilahi. Kita tidak mau saat puasa mengajarkan kita untuk menghindari boros, malah kita terjebak dalam hidup boros...kita menahan makan dan minum disiang hari, tetapi menumpuknya di malam hari...kita menahan lidah saat puasa, tetapi tetapi mengulurkannya saat berbuka..Wallahu a’lam (CaRe, Medan 11 Ramadhan 1430 H).


GHIBAH

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli 'ala muhammad wa aali muhammad

“Anas bin Malik berkata, ‘Rasulullah saaw bersabda, pada malam aku di isra’-kan, aku melewati satu kaum yang sedang mencakar-cakar wajah mereka dengan kuku-kuku dan jemari mereka. Aku berkata, ‘wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu orang-orang yang melakukan ghibah terhadap manusia dan merusak kehormatan mereka.”

Ghibah artinya bergunjing atau menggosip, yaitu membicarakan keburukan (aib) orang lain pada saat ia tidak berada bersama orang-orang yang bergunjing, termasuk berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan akhlaknya, penampilan lahiriahnya, atau kepribadiannya. Ghibah tidak hanya terbatas pada kata-kata, tetapi mencakup semua cara komunikasi, baik dengan perkataan, perbuatan, ataupun sikap.

Rasulullah saaw mendefenisikan ghibah melalui sabdanya, “Tahukah kamu apa ghibah itu? Yaitu kamu mengatakan hal-hal yang tidak disukai saudara (seiman) kalian. Mengatakan hal-hal yang benar-benar ada pada pribadi saudaramu, itulah ghibah. Sedangkan mengatakan hal-hal yang tidak ada pada pribadi saudaramu, itu adalah fitnah.” (H.R. Muslim).

Ghibah merupakan perbuatan yang sangat tercela, yang mengandung banyak bahaya dan kerugian baik secara pribadi maupun bagi kehidupan sosial masyarakat. Di dalam al-Quran Allah swt mencela perilaku ghibah dengan menyamakannya seperti memakan daging busuk.

Tuhan berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat/49 : 12)

Tentang dosa dan bahaya ghibah, Rasulullah saaw bersabda, “Ghibah merupakan suatu dosa yang lebih berat daripada berzina.’ ‘Bagaimana bisa begitu ya Rasulullah?” tanya Abu Zar. ‘Itu karena seseorang yang berzina dan bertobat kepada Allah, maka Allah menerima tobatnya. Namun, ghibah tidak diampuni (oleh Allah) sampai diampuni oleh korbanya.”

Di dunia, orang yang melakukan ghibah akan mendapat kehinaan di sisi manusia dan sisi Allah swt. Ia akan dibenci oleh teman-temanya dan kelompok masyarakat. Begitu pula, ghibah akan merusak kehidupan sosial, karena akan terjadi pencemaran nama baik orang beriman, sehingga menyebarlah penghinaan, ejekan, yang bisa menimbulkan pertengkaran dan permusuhan. Sedangkan di akhirat, orang yang melakukan ghibah kelak dipermalukan dihadapan seluruh makhluk, ia akan memakan bangkai yang sangat busuk, atau ia akan memakan dagingnya sendiri, dan juga dirinya akan berubah menjadi anjing yang memakan daging busuk, atau ia akan menjadi santapan anjing-anjing neraka.

Imam Ja’far Shadiq berkata, “Orang yang menyebarluaskan suatu hal buruk tentang orang beriman dengan tujuan mempermalukan dan menghinakannya, Allah akan menjauhkannya dari penjagaan-Nya dan menyerahkannya kepada setan. Janganlah menggunjingkan orang lain agar orang lain tidak menggunjingkanmu. Janganlah menggali lubang untuk membuat saudaramu jatuh ke dalamnya, jangan sampai dirimu jatuh ke dalam lubang yang sama. Apabila engkau menyalahkan orang-orang lain, maka orang-orang lain tentu saja akan menyalahkanmu.”

Untuk itu, maka kepada kaum muslimin ditegaskan untuk menjauhkan diri dari perilaku ghibah (gosip, bergunjing, atau mengumpat) agar mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Jika ada orang yang sedang ber-ghibah, baik itu teman atau keluarga kita, hendaknya kita mengingatkan mereka atau meninggalkan mereka untuk meghindar sampai pembicaraan mereka berubah pada kebaikan.Sebab, orang yang mendengarkan ghibah, sama dengan orang yang ber-ghibah.

Begitu pula, kita harus senantiasa menyadari dan mencamkan bahaya-bahaya ghibah di atas dan berusaha untuk berprasangka baik pada orang lain. Janganlah berteman dengan orang yang suka ber-ghibah, karena boleh jadi pada suatu hari nanti, diri kamu juga akan di-ghibah-kannya dihadapan orang lain. Karena itu, perhatikanlah keburukan, aib dan kekurangan-kekurangan diri sendiri, dan perhatikanlah kebaikan-kebaikan orang lain. Itulah di antara cara-cara untuk menghindarkan diri kita dari sifat ber-ghibah. “Barang siapa melakukan kebaikan bagi saudaranya dengan menolak ghibah ketika mendengarnya dalam suatu majelis, maka Allah akan menyelamatkannya dari seribu keburukan di dunia ini dan di akhirat”, begitu kita diingatkan oleh Rasulullah Muhammad saaw. Wallahu a’lam (CaRe, Medan, 12 Ramadhan 1430 H)



SEDEKAH



Orang pinggiran, o ya i yo
Ada di trotoar, o ya i yo
Ada di bis kota, o ya i yo
Ada di jembatan, o ya i yo

Anda pasti ingat lirik lagu di atas yang dinyanyikan oleh musisi papan atas Indonesia, Iwan Fals. Sang musisi ingin mengingatkan kita bahwa kemiskinan telah merajalela di Negara Indonesia tercinta ini, dan telah sangat meresahkan. Bagaimana tidak? Saat kita berada diangkot, di bis kota, atau di mobil mewah pribadi, yang berhenti di tengah jalanan karena lampu merah lalu lintas, mendadak anak-anak kecil menghampiri kita dan dengan memukul-mukul botol atau potongan besi dan kaleng, mulai menyanyikan lagu-lagu yang tentu saja kurang enak di dengar telinga. Tidak berapa lama mereka pun menyodorkan tangan untuk meminta uang sebagai balas jasa atas lagu-lagu mereka. Bukan hanya anak-anak, para remaja dan pemuda, bahkan orang tua dan dewasa, juga melakukan hal itu dengan berbagai cara, baik ngamen, meminta-minta, atau bahkan memaksa.

Melihat semua itu, kita bertanya, di mana pemerintah yang menjanjikan kemakmuran rakyat? Dan Di mana orang-orang kaya yang seharusnya menyantuni rakyat? Dimana para intelektual dan ulama yg menjadi corong suara rakyat.??

Kita sadar, banyak ayat al-Quran dan hadit2 Nabi saaw yg megingatkan kita untuk senantiasa memperhatikan orang-orang miskin, para pengemis, dan anak-anak terlantar. Mereka bukanlah orang pinggiran yang harus disingkirkan, tetapi mereka adalah kekasih-kekasih Tuhan yang menjadi tempat-Nya mencurahkan rahmat. Mereka bukanlah orang-orang malas, tetapi adalah orang-orang yang diputuskan dari pekerjaannya. Mereka bukanlah orang-orang bodoh, tetapi hanyalah orang-orang yang tidak diberi kesempatan sekolah karena biaya yang mahal. Mereka bukanlah orang yang ingin tidur di kaki lima jalanan, melainkan terpaksa dikarenakan korban penggusuran. Intinya, mereka bukan memilih untuk hidup miskin, tetapi mereka ditindas dan dibiarkan miskin oleh orang-orang kaya dan penguasa. Singkatnya, kemiskinan terjadi dikarenakan ketidakadilan yang tercipta di tangah-tangah masyarakat.

Jika keadilan ditegakkan, maka orang kaya akan menyantuni fakir miskin, sehingga hidup mereka terbantu. Karena keimanan itu, bukan saja mengingat Allah dalam salat, tetapi juga mengingat penderitaan orang miskin sehingga bergerak membantunya. Keimanan bukan saja saat dengan membaca dan mencium al-Quran, tetapi juga mencium kepala para anak yatim dan anak terlantar lainnya. Keimanan bukan saja membesarkan Allah dengan teriakn Allahu akbar, tetapi juga membesarkan hati para pengemis miskin agar merasakan kebahagiaan.

Kita harus menyadari, bahwa orang-orang miskin bukanlah musuh-musuh yang harus dijauhi, tetapi mereka adalah saudara yang harus didekati dan disayangi. Sebab, jika orang-orang kaya dan penguasa menjauhi dan menyingkirkan orang-orang miskin sehingga kesenjangan sosial terasa begitu nyata, maka akan terjadi disintegrasi sosial yang menghasilkan perlawanan kaum miskin. Jadi, sumber keresahan di tengah masyarakat adalah ketidakadilan dan penindasan. Karena itu, sudah saatnya kita menggalakkan bantuan dan solidaritas sosial untuk mengatasi kemiskinan, melawan menindasan, dan berusaha menegakkan keadilan.

Kita mungkin sering mentraktir teman2 makan dipinggir jalan, atau makan siap saji ala KFC atau Mc D, bahkan mungkin direstoran mewah tempat org2 berdasi. Kita tanpa sadar dan dgn ikhlas mengelurkan uang berlebih utk menyenangkan teman2 kita yg pada dasarnya mampu membayar makananya masing2. Kita mentraktir mereka padahal mereka adalah org2 yg kenyang dan ber-uang.... Tapi, sebaliknya, berapa seringkah kita mentraktir org2 kelaparan utk makan..?? Berapa uang yg kita lemparkan utk pengemis di pinggir jalan..?? Kita mungkin malu menyebutkannya karena memang tidak sebanding dgn uang utk mentraktir teman2...

Begitulah..saya dan juga mungkin anda menyadari bahwa empati dan simpati kita masih sangat tipis pd saudara2 kita yg kurang beruntung...saya takut firman Allah ini dialamatkan kpd saya : “Tahukah kamu siapa pendusta2 dalam agama. Itulah org2 yg menghardik anak2 yatim. Dan tidak memberi makan org2 miskin” (Q.S. al-Maun : 1-3)

Saya juga takut org2 miskin tidak mau menerima lagi sedekah kita, seperti disabdakan Nabi saaw : “Serahkanlah sedekahmu sebelum datang suatu masa ketika engkau berkeliling menawarkan sedekahmu, orang-oang miskin akan menolaknya sambil berkata, ‘Hari ini kami tidak perlu bantuanmu, yang kami perlukan adalah darahmu.”
Wallahu a’lam (CaRe, Medan 13 Ramadhan 1430 H)

MENOLAK KEJAHATAN DENGAN KEBAIKAN

Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli 'ala muhamamd wa aali muhammad

Tidak sama perbuatan yang baik dengan perbuatan yang jahat, tolaklah [kejahatan] dengan apa yang baik, maka orang yang ada permusuhan dengan engkau akan menjadi sahabat yang karib’ (Q.S. Fushilat : 34)
--------------------------


Seseorang berasal dari Syria datang ke Madinah untuk menziarahi makam Rasululah saaw. Saat berziarah, dia melihat seorang penunggang kuda yang begitu mulia dan hebat serta menarik perhatian. Penunggang kuda itu diikuti oleh pengikutnya dari segala arah, dengan sabar menunggu arahan dari beliau.

Orang Syria itu merasa heran karena terdapat orang selain dari Khalifah Muawiyah yang dikelilingi dan dimuliakan oleh masyarakat. Dia diberitahu bahwa penunggang tersebut adalah al-Hasan ibn Ali ibn Abu Talib. ‘Apakah dia anak Abu Turab, Khariji?! Dia bertanya kepada oarang-orang tersebut. “Benar!” jawab para sahabat Imam Hasan al-Mujtaba.

Mendengar hal itu, diapun kemudian melaknat dan menghina Imam Hasan as, dan ayahandanya al-Imam Ali bin Abi Thalib. Sahabat-sahbat Imam Hasan marah dan menghunus pedang mereka untuk membunuh orang Syria itu, tetapi mereka dilarang oleh Imam Hasan. Tidak hanya itu, Imam Hasan turun dari kudanya, menyambut dengan mesra orang Syria itu, dan dengan cara teramat sopan bertanya kepadanya, ‘Kelihatan anda adalah orang asing di daerah ini?’ ‘Ya’ orang Syria itu menjawab. ‘Saya dari Syria, dan saya adalah pengikut amirul mukminin Muawiyah ibn Abu Sufyan. Sekali lagi al-Hasan menyambutnya dan berkata kepadanya, ‘Kamu adalah tamu saya,’ tetapi orang Syria itu menolak, Namun Imam Hasan terus mendesak untuk menjadi tuan rumah sehingga dia setuju.

Imam Hasan melayani orang tersebut (kebiasaannya selama tiga hari) dengan pelayanan yang terbaik. Pada hari keempat, orang Syria itu mulai menunjukkan tanda-tanda penyesalan dan bertaubat atas kelakuannya yang telah menghina Imam Hasan bin Ali bin Abi Talib. Dia teringat bagaimana dia telah menyumpah dan menghina beliau, sedangkan beliau disini terlalu baik dan pemurah. Dia meminta Imam Hasan dan bermohon kepada beliau untuk memaafkan segala kelakuannya yang lalu.

Dihadapan para sahabatnya, kepada orang Syiria tersebut, Imam Hasan bertanya : “Adakah kamu membaca al-Quran”? “Saya telah menghafal keseluruh teks al-Quran”, jawabnya.
Imam Hasan beratnya kembali : “Tahukah anda siapa Ahlul Bait yang mana Allah telah menghapuskan segala kekotoran dan yang telah disucikan dengan kesucian yang sempurna?”. Org Syiria itu menjawab : “Mereka adalah Muawiyah dan keluarga Abu Sufyan”. Mereka yang hadir disitu amat terkejut mendengar jawaban tersebut.

Imam Hasan tersenyum dan berkata kepada orang itu, ‘Saya adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ayah saya adalah sepupu dan adik Rasulullah saaw; ibu saya adalah Fatima az-Zahra sayyidat al-nisa al-alamin (pemimpin seluruh wanita di semesta alama); Datuk saya adalah Muhammad Rasululah saaw sayyid al-anbiya (pemimpin seluruh nabi). Paman saya adalah Hamzah dan Jafar al-Tayyar as-Syahid. Kami adalah Ahlul Bait yang Allah swt telah sucikan dalam kitabnya ‘Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’ (Q.S. al-Ahzab : 33), dan Allah limpahkan kebaikan kepada kami. Pada kami lah Allah dan para malaikat-Nya berselawat, dan memerintahkan kaum Muslimin supaya berselawat kami, ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bersalawat kepada Nabi, hai orang-orang beriman sampaikanlah salawat dan salam kepadanya’. Aku dan adik saya Husain as adalah pemimpin para pemuda di surga”, ungkap Imam Hasan as.

Kemudian Imam Hasan menjelaskan satu persatu kemuliaan Ahlul Bait Nabi saaw, dan mengenalkannya kebenaran kepadanya. Mendengar semua penuturan Imam Hasan as, orang Syria itu pun dapat melihat cahaya kebenaran, maka dia menangis dan terus mencium tangan Imam Hasan dan meminta maaf atas kesalahannya. Dia berkata, ‘Demi Allah, Tuhan yang Maha Esa! Saya memasuki Madinah dan tiada siapa dimuka bumi ini yang saya benci malainkan kamu, tetapi sekarang saya mencari kedekatan kepada Allah swt dengan mencintai kamu, patuh kepada kamu, dan menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi kamu’

Imam al-Hasan menghadap kepada para sahabatnya dan berkata, ‘Apakah kamu mahu membunuhnya walaupun dia tidak bersalah? Jika dia telah mengetahui yang sebenarnya, tentu dia tidak menjadi musuh kita. Kebanyakkan Muslim di Syria adalah orang seperti dia yang mendapat informasi keliru. Jika mereka mengetahui informasi yang sebenarnya, mereka akan mengikutinya.’ Kemudian beliau membacakan ayat yang berbunyi: ‘Tidak sama perbuatan yang baik dengan perbuatan yang jahat, tolaklah [kejahatan] dengan apa yang baik, maka orang yang ada permusuhan dengan engkau akan menjadi sahabat yang karib’ (Q.S. Fushilat : 34)

Hari ini, 15 Ramadhan (nisfu ramadhan) adalah hari lahir Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib as. Semoga kisah di atas menjadi inspirasi pada kita utk mengenang akhlak mulia beliau dan dapat menirunya dalam kehidupan kita sehari-hari, “Tolaklah kejahatan dengan kebaikan”. Semoga.
Wallahu a’lam (CaRe, Medan 15 Ramadhan 1430 H)

MEMBUKA PINTU LANGIT MELALUI DOA

Bismillahirrahmanirrahim

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Q.S. al-Baqarah : 186)


Ada tiga jenis keinginan yg mengajak untuk ditunaikan. Pertama, perintah, yaitu keinginan agar org lain melakukan sesuatu untuknya dan harus dikerjakan. Perintah ini berasal dari atasan kepada bawahan... Kedua, nasehat, yaitu keinginan agar orang lain melakukan sesuatu, tetapi tidak ada paksaan di dalamnya... Ketiga, permohonan, yakni keinginan agar org lain memenuhi kebutuhannya. Dalam permohonan ini, tidak ada paksaan dan keharusan, melainkan pengharapan. Permohonan ini datang dari budak kepada tuan, dari bawahan kepada atasan, dari makhluk kepada Khaliq. Permohonan inilah yang disebut dengan doa.

Doa timbul dari tabiat manusia yg dilubuk hatinya terdalam, senantiasa diliputi dengan rasa harap dan cemas. Dia berharap hidupnya sempurna, tetapi cemas jika ia tidak mampu mencapainya disebabkan kelemahan yg ada pada dirinya. Kedua posisi ini, memacu kita untuk memohon pertolongan (dengan berdoa) dari wujud yang lebih mulia dan sempurna dari manusia.

Doa merupakan permohonan yg khusus ditujukan kpd Allah swt, "Hanya kepada-MU kami memohon pertolongan" (Q.S. al-Fatihah : 5). Allah sebagai wujud Yang Maha Kasih, senantiasa mencurahkan rahmat dan karunia-Nya kpd segenap ciptaan-Nya. Namun, manusia terkadang dengan kesombongannya tidak pernah mengetuk pintu Allah swt yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu (rahmati wasiat kulla sai'). Ketuklah pintu Allah swt terus menerus dengan doa, insya Allah Tuhan akan berkenan membuka pintu-Nya, sesuai dengan friman-Nya dlm al-Quran : "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q.S. al-Baqarah : 186)

Banyak diantara kita tidak menyelami lautan makna doa, sehingga terkadang kebingungan sendiri saat menghadapi kenyataan, bahwa banyak dari doa kita yang tidak terkabul seperti keinginan kita. Apakah Allah swt mengingkari janji-Nya saat berfirman "berdoalah, niscaya akan Ku kabulkan"? ini tidak mungkin, mustahil Allah sebagai Yang Maha Adil mengingkari janji-Nya. Akan tetapi, jika Allah swt merahasiakan terkabulnya doa, itu hal yg wajar sebagi wujud Yang Tersembunyi dan Penuh Rahasia. Hanya saja kita dituntut utk tetap berprasangka baik kepada-Nya.

Para ulama menyebutkan bahwa dalam proses pengabulan doa, Allah swt menggunakan tiga cara. Pertama, Allah mengabulkan sesuai dengan permintaannya. Kedua, dikabulkan, tetapi menggantinya dengan sesuatu yang lain yg lebih bermanfaat bagi si pemohon. Ketiga, dikabulkan dengan ditangguhkan pd hari akhirat untuk diberi ganjaran.

Dengan mengetahui tata cara di atas kita tidak akan diliputi lagi kebingungan akan doa-doa yang kita panjatkan. Prasangka baik kpd Allah swt, bahwa doa-doa kita tidaklah sia-sia melainkan senantiasa mendapat perhatian-Nya, "Kalau hamba-Ku bertanya kpd engkau tentang Aku, katakan Aku dekat. Aku memperkenankan doa orang yang berdoa...".

Dengan demikian, tanamkanlah ke dalam sanubari kita bahwa Allah swt senantiasa berkenan mengabulkan doa-doa kita. Rendahkanlah diri kita dihadapan-Nya. Kuburkanlah kesombongan dengan doa, dan suburkanlah syukur dengan doa, insya Allah kita termasuk hamba-Nya yg memperoleh syafaat di yaumil kebangkitan kelak.

Dengan demikian, hakikat doa adalah penghambaan yg dalam dengan penuh harap dan cemas kpd Allah swt. Doa bukanlah sekedar ungkapan lisan yg penuh kata-kata, melainkan rintihan suci dengan kehadiran seluruh anggota jasmani dan ruhani dalam muatan cinta ilahi. wallahu a'lam (CaReM 15 Ramadhan 1430 H)

ADAKAH MASA DEPAN AGAMA?


Fenomena keberagamaan telah hadir sejak manusia diciptakan. Dari bangsa yang diklaim primitif di abad kebodohan, sampai bangsa yang industrial hingga informatif di abad pengetahuan, agama tetap memainkan peranan penting bagi pemaknaan hidup dan kehidupan.

Tokoh-tokoh agama disetiap saat dan tempat menduduki strata istimewa, baik dalam roda pemerintahan yang dikelola oleh rezim kezaliman maupun rezim keadilan. Mulai pemerintahan Teokrasi, Monarki, Aristokrasi, bahkan demokrasi. Dari raja yang bergelar Firaun hingga pemimpin yang disebut Amirul Mukminin, presiden ataupun wali faqih.

Namun begitu, tidak bisa pula kita pastikan, bahwa posisi agama yang diagungkan tersebut (ideal) sesuai dengan prektek lapangan yang berlaku (realitanya). Seolah hal ini menjadi wajah ganda agama, yang menghadirkan dua hal berlainan dengan satu kemasan. Orang bisa bicara kedamaian melalui agama, sehebat tindakan perang yang dilakukan atas nama agama. Satu komunitas agama bisa menggaungkan toleransi, di saat yang sama meneriakkan arogansi. Firman “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, diimbangi dengan ungkapan “masuklah ke dalam agamaku”. Perbedaan adalah rahmat dalam pandangan Nabi namun menjadi azab ditangan pengikut-pengikutnya.

Singkatnya, sering kali agama hanya menjadi komoditas kepentingan manusia dengan melupakan sumbernya yakni Tuhan Yang Esa. Implikasinya, lahirlah gerakan pembenci agama ditengah komunitas pencinta agama, slogan ‘kematian Tuhan’ yang dipublikasikan Nietzche mengukuhkan ‘kehidupan manusia’. Pada sisi lain ‘kecanduan kekayaan dan kekuasaan’ menggantikan ‘kecanduan pada agama’ yang ditahbiskan oleh ‘nabinya’ kaum Marxis. Sehingga dianggap inilah abad yang paling membahayakan pada agama, sayangnya Tuhan tidak akan menurunkan lagi Nabi dan Rasulnya untuk membela kita semua. Sebab itu, perjuangan agama menjadi tanggung jawab kolektifitas manusia yang masih menyimpan Nama Tuhan di relung-relung kalbunya. wallahu a'lam


RIYA


Pada suatu hari Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, “hal utama yang aku takutkan terhadapmu adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu?” Rasul menjawab : “Riya! Pada hari pengadilan, ketika Allah menghitung seluruh amal makhluknya, Dia akan berkata kepada orang-orang yang memiliki sifat riya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian pameri saat kalian hidup di dunia dan minta balasan dari mereka.”

Riya berarti melakukan perbuatan baik untuk mencari perhatian, pujian atau kemashyhuran di depan manusia. Sifat ini merupakan dosa besar dan menyebabkan menurunnya kualitas bahkan matinya spiritual. Al-Quran menyatakan :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya.” (Q.S. al-Maun: 4-6)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Ada tiga ciri yang menandakan bahwa seseorang melakukan riya, yaitu menyatakan suka cita dan kegembiraannya ketika disambut dan dihormati; menjadi sedih dan murung ketika sendiri (tidak ada orang lain); dan ingin dipuji untuk semua hal yang dikerjakannya.”

Perkataan Imam Ali di atas membantu kita untuk mendeteksi diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang yang ikhlas atau orang yang riya? Cobalah Anda jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
1. Apakah Anda malas-malasan beribadah jika anda sendirian?
2. Apakah Anda rajin jika banyak orang yang melihat Anda berbuat kebaikan?
3. Apakah Anda merasa bangga dan ingin dipuji setiap melakukan kebaikan?

Jika ketiga pertanyaan di atas kita jawab dengan “Ya”, maka kita termasuk kelompok orang-orang yang riya. Nauzhubillahi min dzalik

Ibadah puasa adalah ibadah tersembunyi. Tidak ada yg mengetahui seseorag itu berpuasa kecuali hanya Allah swt dan dirinya sendiri. Karena itu puasa merupakan salah satu ibadah minim riya. Artinya, puasa termasuk ibadah yg sulit dicemari oleh sifat riya. Kita bisa saja berpura2 puasa dihadapan manusia, tapi berbuka saat sendirian....jadi org yang mampu melaksanakan puasa hanyalah org yg jujur, jujur kepada dirinya dan jujur dihadapan Tuhannya. Itulah makanya Allah berfirman di dalam hadits qudsi, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya”.

Semoga puasa tahun ini dapat mengikis sifat riya dari dalam diri kita semua. Wallahu a’lam (CaRe, Medan 09 Ramadhan 1430 H)

DEMONSTRASI RAKYAT DI AKHIRAT


"Aku perintahkan kamu untuk tidak berlaku tirani dan menindas rakyat, jangan memperlakukan mereka dengan buruk, jangan menfitnah dan menuduh mereka, karena mereka adalah saudara-saudara kamu, dan merekalah yg membantu kamu mengumpulkan pajak dan mencarikan sarana serta jalan untuk membantu fakir miskin."

"Sesungguhnya aku telah memberikan kamu bagian kamu, dan kini kamu harus memberikan kpd mereka bagian mereka. Kalau tidak, maka akan banyak orang yang demonstrasi guna mengadukan dan memprotes kamu kelak di akhirat pada Hari Pengadilan. Celakalah orang yang didemonstrasi untuk diadukan kepada Allah oleh kaum miskin, kaum fakir, para pengemis, dan mereka yang terampas hak-haknya." (Imam Ali as, Nahjul Balaghah II, surat ke-26)

Pesan di atas adalah amanah ilahiah yg disampaikan oleh Imam Ali as kpd para pemimpin pemerintahan. Amanah ilahiah ini memberikan garis-garis besar sikap pemimpin terhadap rakyatnya. Bagi Imam Ali as, kesalehan individual tidaklah berharga tanpa kesalehan sosial, dimana seorang pemimpin membuktikan dirinya sebagai pengemban amanah yg bertanggungjawab. Sebab, kesalehan individual, hanyalah hubungan vertikal kepada Tuhan, sedangkan kesalehan sosial berdimensi ganda, yakni pertanggungjawaban secara horizontal kpd masyarakat, dan tanggungjawab vertikal di hadapan Allah swt. Sebab itu, kita harus menyadari bahwa kepemimpinan bukanlah hak, melainkan tugas yg harus dijalankan dgn sebaik-baiknya.

Manusia sebagai khalifah dijadikan Tuhan utk memakmurkan jagat raya. Kemakmuran hanya didapatkan degan sistem pemerintahan yg amanah bukan kekuasaan. Amanah ini didasarkan pada kepercayaan dan tanggungjawab, sedangkan kekuasaan diazaskan dengan kepemilikan dan kebebasan. Karenanya, pengelolaan negara dgn amanah akan menghasilkan pemeliharaan yg sesuai dgn karakteristik negara dan kepentingan rakyat. Sedangkan pengelolaan berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan akan memperlakukan rakyat sesuai dgn keinginan dan kesenangannya.

Imam Ali as berpesan agar pemimpin tdk berwajah ganda, dimana ia berpura-pura saleh dan empati terhadap penderitaan rakyat, tetapi jika kembali kepada komunitas elitnya, ia berlaku hidup mewah di rumahnya sendiri. Bgitu juga, pemimpin janganlah menganggap rakyat sebagai pelayan yang dikuasai, tetapi anggaplah sebagai saudara sendiri. Pemimpin harus menyadari bahwa rakyat membutuhkan keadilannya, sebagaimana ia membutuhkan suara rakyat untuk mendukung pemerintahannya.

Jadi, pmimpin haruslah mengayomi rakyat dan bukan menjadi tiran yg menindas rakyat. Sebab, ketertindasan merupakan pangkal kebencian dan permusuhan, yg mengakibatkan pemberontakan serta keruntuhan pemerintahan. Rakyat yg tertindas, akan berdemonstrasi di dunia dan juga diakhirat. Jika demonstrasi di dunia, mungkin pemimpi masih bisa berlindung dibalik tembok megah istananya dikawal oleh para aparat bersenjata. Namun, jika rakyat berdemonstrasi di akhirat, maka pemimpin hanya bisa pasrah tanpa perlindungan apapun. Sebab, Hari Pengadlan itu, hanya Allah swt penguasanya. Karenanya, kpd para penguasa, hati2lah terhadap demonstrasi rakyat di akhirat, karena anda tdk bisa lagi sembunyi disana. Kepada para aktivis demonstrasi, jika kamu tdk puas dan tdk mendapatkan tanggapan pd saat demonstrasi didunia, sisakan tenaga utk melanjutkan demonstrasi di akhirat kelak. Pasti demonstrasi itu akan mendapatkan tanggapan serius dari Allah yg Maha Bijak.

Siapa pemimpin yg amanah sebagaimana diperintahkan Imam Ali as? silahkan tentukan sendiri.... Wallahu a'lam. (CaRe, Medan, 03 Juli 2009)

Selasa, 02 Februari 2010

PUASA BICARA


Bismillah
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Seorang wanita hamil diusir dari kampung halamannya, karena dituduh mengandung anak dari hasil perzinahan. Dengan susah payah ia keluar dari kampungnya menuju suatu kebun kurma.

Sambil bersandar pada sebatang pohon kurma, ia merenungi nasibnya yang tragis. Ia mengeluh sedih, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.”

Mendadak turunlah malaikat dan menyeru kepadanya, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan kalu engkau lapar, maka goyanglah pohon kurma itu, maka pohon kurma itu akan menggugurkan buahnya yang masak kepadamu.”

Malaikat itu melanjutkan kata-katanya, “Dengan adanya sungai dan pohon kurma ini, maka makan dan minumlah serta bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".

Mendengar kalimat malaikat itu, senanglah hati wanita tersebut, dan dia mengandung anaknya dengan sukacita hingga melahirkan seorang bayi laki-laki yg menawan hati…

Setelah melahirkan ia membawa anak tersebut kembali ke kampung halamanya, dan kaumnya pun berkumpul menyaksikannya sambil mengejeknya. Karena ia puasa bicara, maka ia pun menunjuk pada anaknya.

Mendadak dan mengejutkan semua orang, anak bayi yg masih dalam buaian itupun berbicara : “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku salat dan zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yg sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimphakan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Lihat Q.S. Maryam : 23-33)

Kisah diatas mungkin sudah kita kenal dan sering didengar. Tetapi kita melupakan bahwa kisah ini menginformasikan kepada kita salah satu jenis puasa yang pernah dilakukan oleh manusia suci yaitu PUASA BICARA.

Hari ini, kita mengerjakan puasa utk menahan diri dari yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan bersenang-senang. Tetapi ternyata ada puasa yg berbeda. Dalam puasa tersebut, diperbolehkan makan dan minum, tetapi tidak melakukan pembicaraan. Inilah yang dikenal dengan PUASA BICARA alias DIAM SAJA. Siapa yg melakukan puasa ini…???

Dalam al-Quran disebutkan, pelakunya adalah wanita suci yang mulia yaitu Maryam binti Imran, Ibunda Nabi Isa as. Maryam dipersilahkan untuk makan dan minum, tetapi dia menahan diri dari berkata-kata. Al-Quran mengisahkan :

Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (Q.S. Maryam : 26)

Coba anda bayangkan, hari ini kita berpuasa utk tidak makan dan minum, tetapi apakah kita tahan utk tidak berbicara? Pasti kita merasa kesulitan. Bahkan terkadang kita kalau lagi “ngegosip”, menunda makan dan minum, walapun sudah masuk waktunya….(maaf ya kalau ada yg merasa tersinggung).

Apa sebenarnya hasil puasa tersebut? Allah swt mengabarkan kepada Rasulullah saaw di malam mi’raj tentang hasil berpuasa. Allah swt berfirman :

“Hasil dari berpuasa adalah sedikit berbicara dan sedikit makan. Hasil diam adalah kebijaksanaa, hasil kebijaksaan adalah pencerahan, hasil pencerahan adalah keyakinan yang mulia; dan keyakinan yg mulia menjadikan seseorang tidak pernah merasa cemas untuk memulai harinya apakah dengan kemudahan atau kesulitan, tragedi atau kesenangan. Inilah kedudukan manusia yg telah mencapai tingkatan puas yang ditandai dengan tiga ciri utama,
1. Berterima kasih (syukur) yang tidak dikotori dengan kebodohan
2. Zikir yg tidk bercampur dengan kelalaian
3. Cinta sejati ilahi yg tidak bercampur dengan cinta pd lainnya.

Sudahkah puasa kita menghasilkan ketiga hal itu??? Jika belum, sebaiknya kita belajar utk puasa bicara, dimana selain menahan makan dan minum, juga menahan diri dari berkata yang sia-sia. wallahu a'lam. (CaRe. Medan, 08 Ramadhan 1430 H)


AKAL DALAM TIMBANGAN WAHYU


Bismillah
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Segala sesuatu memiliki alat dan perkakas; sedangkan alat dan perkakas orang mukmin adalah akal. Segala sesuatu memiliki kendaraan, dan kendaraan seseorang adalah akal. Segala sesuatu memiliki tiang, dan tiang agama adalah akal. Setiap kaum memiliki tujuan, dan tujuan para hamba adalah akal. Setiap kaum memiliki pemimpin, dan pemimpin para ahli ibadah adalah akal. Setiap pedagang memiliki barang dagangan, dan barang dagangan para mujtahid adalah akal. Setiap penghuni rumah memiliki penjaga, dan penjaga orang-orang yang benar adalah akal. Setiap kerusakan memiliki pembangunan, dan pembangunan akhirat adalah akal. Setiap orang memiliki keutamaan yg disematkan kepadanya, dan keutamaan orang-orang yang benar yang disematkan kepadanya adalah akal. Setiap perjalanan memiliki tenda, dan tenda orang-orang mukmin adalah akal. (Muhammad saaw)

Telah banyak defenisi diberikan oleh para ahli, baik secara etimologis atau terminologis tentang akal. Beragam defenisi yang dibuat menunjukkan akal merupakan suatu yang kudus (suci) yang berfungsi menangkap berbagai realitas dan mengambil sisi terbaik dari realitas itu, serta mencegah manusia dari tindakan penyelewengan.

Ibnu Faris misalnya, dalam Maqayis al-Lughah mengartikan akal sebagai sesuatu yang menahan seseorang dari perbuatan dan perkataan yang tercela. Sedangkan Ibrahim Madkour dalam al-Mu’jam al-Falsafi, mengemukakan al-Aql (akal) adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Ia merupakan anugerah Allah yang terbesar untuk manusia. Di bawah pancaran akalnya manusia dapat membedakan yang benar dan yang batil, bersih dan kotor, bermanfaat dan mudharat, serta baik dan buruk.

Jika kita menganalisis al-Quran, memang kata al-aql (dalam bentuk kata benda) tidak ditemukan dalam satu ayatpun. Yang ada adalah dalam bentuk kata kerja (fi’il), dalam arti perintah penggunaan akal, terdapat 49 kali yaitu :
  1. ‘Aqaluhu sebanyak satu kali yaitu dalam Q.S. al-Baqarah: 75
  2. Ta’qilun sebanyak 24 kali yakni dalam Q.S. al-Baqarah: 44, 73, 76,242; Ali Imran: 65,118; al-An’am: 32,151; al-A’raf: 169; Yunus: 16; Hud: 51; Yusuf: 2, 109; al-Anbiya: 10,57; al-Mukminun: 80, An-Nur: 61; al-Syuara: 28; al-Qashas: 60; Ya Sin: 62; al-Shaffat: 138; Ghafir: 67; al-Zukhruf: 3; al-Hadid: 17.
  3. Na’qilu disebutkan satu kali yaitu Q.S. al-Mulk: 10
  4. Ya’qiluha disebutkan satu kali yakni Q.S. al-Ankabut: 43
  5. Ya’qilun (positif) /La ya’qilun (negatif) sebanyak 22 kali baik dalam yaitu Q.S. al-Baqarah: 164, 170, 171; al-Maidah: 58,103; al-Anfal: 22; Yunus: 42,100; al-Rad: 4; al-Nahl: 12,67; al-Hajj: 46; al-Ankabut: 35, 63; al-Rum: 24,28; Ya Sin: 68; al-Zumar: 43; al-Jasiyat: 5; al-Hujurat: 4; al-Hasyr: 14.
Selain kata-kata tersebut di dalam al-Quran terdapat kata-kata yang juga menunjukkan aktifitas akal yakni berpikir seperti nazhara, tadabbara, tafakkara, tazakkara, fahima, faqiha. Kemudian terdapat pula sebutan-sebutan yang memberi sifat berpikir bagi seorang muslim seperti ulul al-bab, ulul ilm, ulul abshar,dan ulul nuha. Dengan demikian, ayat-ayat al-Quran memberikan penghargaan tinggi kepada akal.

Al-Quran menunjukkan bahwa pengisi neraka jahanam adalah kelompok jin dan manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan baik. “Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A’raf : 179)

Selain itu al-Quran juga menegaskan bahwa petunjuk diberikan kpeada orang yang menggunakan akalnya. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, ..yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar : 17-18)

Bahkan al-Quran menegaskan bahwa hanya orang yang berakal yang memperhatikan al-Quran dan alam semesta dengan seksama :

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad : 24)

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj : 46)
wallahu a'lam (CaRe. Medan, 07 Ramdhan 1430 H)

WAHYU DALAM TIMBANGAN AKAL


Bismillah
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan ini kita senantiasa membutuhkan pembimbing yang mempunyai otoritas lebih dari kita. Allah swt sebagai pencipta dan pengelola semesta ini, mustahil membiarkan umat manusia berjalan tanpa bimbingan. Jika kita mau dengan jernih melihat persoalan ini, maka akan tampaklah dengan nyata bahwa wahyu merupakan pembimbing yang diberikan Allah swt kepada umat manusia sebagai sandingan bagi akal.

Wahyu sebagai sumber petunjuk telah dibuktikan dalam koridor filsafat dan sains. Sederetan para filosof papan atas, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Massarah, Ibnu Thufai, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra telah menuangkan pikiran mereka untuk membuktikan jembatan emas antara wahyu dan akal. Selain itu, jika kita mengkaji tafsir al-Quran, maka penafsiran juga dilakukan dengan menggunakan ra’yu. Hal ini menunjukkan bahwa akal mengakui otoritas wahyu sebagai pedoman kehidupan dan petunjuk pengetahuan.

Allamah Thabathabai menegaskan bahwa dengan akal manusia bisa memperoleh gagasan tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang bermanfaat dan apa yang merusak bagi dirinya sendiri, Tetapi, kecenderungan hawa nafsu sering mengelabui akal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bimbingan ilahi harus diberikan melalui sarana tambahan selain akal, suatu sarana yang sepenuhnya bebas dari kesalahan...cara ini adalah kenabian. Lewat kenabian, Tuhan Yang Maha Tinggi mengajarkan perintah-perintah-Nya kepada salah seorang hamba-Nya melalui wahyu. “

Abu Ali Ibnu Sina saat bicara tentang kenabian menyatakan bahwa Para Nabi adalah manusia sempurna yang mengaktualkan langsung akalnya secara sempurna. Mereka adalah puncak kesempurnaan manusia dan seluruh wujud makhluk bahkan menguasainya. Wahyu kata Ibnu Sina adalah bentuk pancaran, dan malaikat adalah kekuatan yang memancarkan, yang diterima oleh para nabi dan yang turun kepada mereka secara terjaga disebabkan kekhususan para penerimanya. Jadi kerasulan adalah bagian dari pancaran itu yang dinamakan wahyu, yang diterima dalam berbagai bentuk ekspresi untuk kepentingan umat manusia. Rasul adalah orang yang menyampaikan apa yang ia peroleh dari pancaran yang disebut wahyu, sekali lagi dalam bentuk ekspresi apapun yang dianggap terbaik, agar dengan ajaran-ajaranya itu bisa dihasilkan adanya perbaikan dalam alam indera melalui politik, dan alam intelektual dalam ilmu pengetahuan.”

Al-Farabi, filosof yang mendahului Ibnu Sina ketika menjelaskan tentang wahyu menyatakan bahwa ketika seorang nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis akal yang dilibatkan yaitu akal aktif, akal mustafad (akal perolehan), dan akal pasif (al-aql al-munfail).

Mulla Shadra menggambarkan proses penerimaan wahyu sebagai berikut : "Perbincangan antara manusia dan Allah, perolehan pengetahuan dari-Nya adalah perbincangan tertinggi dan puncak perolehan. Dalam perbincangan ini, Nabi saaw mendengar kalam ilahi dan perbincangan suci dari Allah melalui pendengaran hati dan batin. kalam Allah adalah pemberian ilmu dan hakikat pengetahuan ke dalam hati Nabi yang bercahaya."

Abdullah Darraz menulis “Apabila anda membaca al-Quran, maknanya akan jelas di hadapan anda. Tetapi apabila anda membacanya sekali lagi, maka anda akan menemukan pula makna lain yang berbeda dengan makna-makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai (anda) menemukan kalimat atau kata-kata yang mempunyai arti bermacam-macam , semuanya benar atau mungkin benar... (ayat-ayat al-Quran) bagaikan intan, setiap sudutnya memencarkan cahaya yang berbeda dengan cahaya yang memancar dari sudut-sudut lain... dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain untuk memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak daripada yang anda lihat.”

Komentar-komentar ini ingin menunjukkan bahwa al-Quran adalah wahyu ilahi yang diturunkan kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan pedoman dalam menggeluti kehidupan ini dalam berbagai aspeknya. Al-Quran adalah kitab yang bebas dibaca siapapun, dalam kapasitas akal bagaimanapun, dan ahli dalam bidang apapun. wallahu a'lam (CaRe. Medan, 06 Ramadhan 1430 H)

WAHYU DAN AKAL ADALAH HUJJAH BAGI MANUSIA

Bismillah
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk ulil al-bab. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan senantiasa berpikir akan penciptaan langit dan bumi, (dan mereka berkesimpulan) Ya Tuhan kami, tiada kebatilan pada ciptaan ini, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari sikasa api neraka.” (Q.S. Ali Imran : 190-191)

Allah swt telah menetapkan dua hujjah bagi manusia, yang pertama di luar diri manusia yakni wahyu (al-Quran dan kenabian), sedangkan yang kedua di dalam diri manusia yaitu akal. Islam sebagai agama yang diyakini kesempurnaannya sudah selayaknya memberikan tempat kepada keduanya.

Wahyu merupakan sumber utama Islam. Ia menjadi inspirasi dan bahan yang tak pernah lapuk ditelan masa atau rapuh dimakan usia. Kandungan al-Quran tidak terbatas, karena pemahaman atasnya akan terus berkembang seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah ayat Allah yang tersurat dan alam adalah ayat Allah yang terbentang, maka keduanya akan selalu selaras, serasi, dan sepadan. Penelitian kepada alam akan menghasilkan pemahaman baru kepada al-Quran, sedangkan pengkajian terhadap al-Quran akan memberi pijakan dan bahan dasar bagi penelitian alam semesta. Untuk itu, segala sesuatu yang dapat menghantarkan kita kepada pemahaman al-Quran yang baik haruslah kita pelajari sebagaimana pentingnya sarana dan ilmu pengetahuan untuk memahami alam semesta. Inilah keakraban wahyu dan akal dalam Islam.

Dengan semikian, wahyu dan akal akan benar-benar berfungsi sebagai hujjah bagi kekuatan Islam yang menjadi agama masa lalu, masa kini dan masa depan. Dengan keduanya kita akan mampu menjawab berbagai problematika zaman yang semakin nyata melindas manusia untuk lebih jauh dari nilai-nilai spiritual.

Bagi sebagian pemikir, agama mulai terpinggirkan bahkan nyaris menemui kematian, yang salah satu sebab utamanya adalah apa yang disebut dengan saintisme . Selain itu virus-virus modernisme, materialisme, sekularisme, dan banyak lagi lainnya yang telah menjadi corak hidup masyarakat sekarang, jelas merupakan ancaman besar yang tidak bisa kita nafikan keberadaannya. Seluruh agama merasakan bahayanya, dan merespon sesuai dengan tingkat pemahamannya. Tak terkecuali Islam, seperti dikatakan Shabbir Akhtar bahwa akhir-akhir ini muncul gerakan-gerakan menentang tatanan semi sekuler yang semakin bertambah kuat. Semua tujuan gerakan tersebut adalah kejayaan monopoli Islam; banyak dari gerakan tersebut menimbulkan antusiasme temporer sebelum berakhir di keranjang sampah sejarah.

Walaupun kritik di atas tidak lebih ingin menunjukkan suatu realitas, namun bukan berarti sikap optimis kita mesti pudar. Sebab bagaimanapun, Islam jika dipotensikan dengan baik akan mempunyai kesanggupan mendamaikan agama dan sains, wahyu dan akal. Namun, jika kita gagal, maka Islam tak lebih dari sekedar agama yang ‘dikeramatkan’. wallahu a'lam (CaRe. Medan, 5 Ramadhan 1430 H)

MERAJUT VISI KEBEBASAN BERAGAMA

Tidak ada paksaan dalam beragama; Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (Q.S. Al-Baqarah : 256)

Visi kebebasan beragama merupakan hal yang sangat jelas dalam ajaran Islam (Q.S. al-Baqarah: 256, al-Maidah: 48). Manusia bebas untuk memiliki keyakinan apapun yang dipilihnya. Tidak seorangpun berhak untuk menghina keyakinan orang lain, atau mengutuk, menuntut, dan menghukumnya. Firman Tuhan, “Tiada paksaan dalam beragama”, menunjukkan bahwa agama sangat berhubungan dengan akal dan hati. Ini berarti keyakinan dikonstruksi di atas dasar argumentasi akal dan penerimaan hati. Akal dan hati, keduanya hanya bisa ditundukkan dengan argumentasi dan sentuhan kasih, bukan tekanan yang dipaksakan.

Sesuai dengan capaian para ahli, bahwa keyakinan merupakan konsepsi akal untuk menggapai pengetahuan tentang Wujud Mutlak (Tuhan). Akal yang mendapatkan kepuasan melalui burhan ash-shiddiqin (argumentasi yang benar) akan menghantarkannya untuk taslim (tunduk) pada hakikat kebenaran. Visi kebebasan beragama, memberikan tempat yang terbuka bagi setiap orang untuk mengemukakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran tanpa manipulasi atau tekanan situasi. Hal ini diperoleh dengan kebebasan teologis dan kekondusifan sosiologis.

Begitu pula, selama berkaitan dengan akal dan hati, keyakinan tidak dikategorikan sebagai masalah hukum, sehingga kita tidak dapat mengatakannya sebagai legal atau ilegal. Keyakinan harus berpijak pada dalil. Sepanjang terdapat dalil yang mendukungnya, keyakinan akan tetap eksis. Jika dalil yang mendukungnya berubah, maka keyakinan juga akan menghilang. Jika dalil terbukti keliru, keyakinan juga akan mati. Jadi selama keberagamaan masih berhubungan dengan keyakinan hati dan jiwa, maka tidak ada hukum positif yang dapat menghakiminya. Namun, bila diekspresikan dalam tindakan sosial maka hukum legal dapat diterapkan.

Dengan begitu, visi kebebasan beragama mestilah dipandang sebagai suatu perspektif yang memahami dan menerima keragaman agama serta menghargainya dengan penuh kesadaran sehingga tidak ada saling curiga apalagi saling serang. Dengan demikian, visi kebebasan agama tidaklah berkeinginan menyeragamkan atau menyamakan semua agama-agama, melainkan menerima kemajemukan agama dengan apa adanya. Namun, agar tidak terjadi pengaburan nilai-nilai agama, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan :

a. Memahami dan menerima keragaman agama, bukan berarti menerima keyakinan agama lain yang berbeda. Artinya, menerima keragaman dalam kebebasan beragama berarti kesediaan kita untuk menyatakan bahwa keyakinan engkau berbeda dengan keyakinanku, karenanya berbuatlah seperti keyakinan agamamu dan aku akan berbuat seperti keyakinan agamaku, atau dalam bahasa al-Quran “Bagimulah agamamu dan bagikulah agamaku” (Q.S. al-Kafirun: 5)

b. Menghargai keragaman agama bukan berarti membenarkan keyakinan agama yang bertentangan dengan agama yang dianut. Artinya, menyalahkan pandangan agama lain tidak dapat dikategorikan sebagai tidak menghormati agama orang lain. Karena, persoalan benar dan salah adalah persoalan ilmiah dan merupakan sifat daripada ilmu. Adapun, tidak menghargai lebih cenderung pada penghinaan dan pemaksaan agama, bukan kepada penyalahan keyakinan agama. al-Quran menyebutkan: “Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (Q.S. al-Baqarah: 256).

Jadi, tidak adanya kecurigaan dan tidak saling serang antar agama bukan berarti menghilangkan nilai-nilai ilmiah dan akademis yang berpijak pada analisa rasional untuk mengungkap kebenaran dan kesalahan pemikiran keagamaan yang berkembang. Tuhan berfirman, “Apabila datang kepadamu orang yang fasik membawa berita, maka cek dan riceklah, agar kamu tidak menimpakan bencana kepada orang yang tidak berhak menerimanya.” (al-Quran)

Islam yang dipandang penganutnya sebagai agama sempurna memberikan andil dalam membentuk seluruh elemen komunitasnya. Karena, agama pada dasarnya tidak muncul secara vakum kultural, maka ia memiliki andil besar bagi pembentukan sistem kultural. Jika kita boleh mengembangkan teori hermeneutikanya Nasr Hamid Abu Zaid (1994: 25), yang mengajukan tesis bahwa al-Quran diturunkan dalam dua tahap, yaitu tahap dibentuk oleh kultur (marhalah al-tasyakkul) dan tahap membentuk kultur (marhalah al-tasykil).

Meskipun analisis Abu Zaid meninjau sisi linguistik tekstual al-Quran, tetapi dapat kita elaborasi untuk menjelaskan interaksi agama dan kultur. Artinya, kedua tahap tersebut mengindikasikan bahwa, di masa Nabi Muhammad saaw. agama hadir dan berinteraksi secara struktural dengan kultur Arab (Mekkah). Hasil interaksi tersebut menjadikan Islam, mampu mengadaptasi sekaligus menyeleksi dimensi kultural yang ada dari realitas sosial, bahasa, ataupun budaya yang dikembangkan oleh masyarakat pra maupun pasca Islam. Kemudian dengan kemampuan kreativitasnya, kaum muslimin selanjutnya melakukan transformasi kultural yang khas Islam.

Karena itu, Visi kebebasan agama, dapat dikaitkan dengan kesatuan dalam perbedaan atau upaya mencari zona singgung dari adanya aneka jalur praktek beragama. Kebebasan beragama ini dapat diwujudkan, ketika masing-masing penganut agama (atau mazhab) yang beraneka ragam di samping menegaskan identitas mazhab atau agamanya, juga siap pula menegaskan identitas mazhab atau agama lain yang berbeda dengannya.

Selain itu, visi kebebasan beragama ini selaras dengan prinsip penting lainnya seperti kebebasan manusia (ikhtiari), prinsip tanggung jawab (taklif), prinsip keadilan (al-adl), dan prinsip kebijaksanaan (al-hikmah). Dengan semua prinsip ini, manusia mendapatkan keluasan dan keleluasaan untuk mengkaji, meneliti, dan memahami, hingga akhirnya menentukan mazhab atau agama pilihan yang sesuai dengan akal dan hati nuraninya. Wallahu a’lam. (Medan, 04 Ramadhan 1430 H)

JEJAK-JEJAK TUHAN DI JAGAD RAYA


Bismillah
Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa aali Muhamamad

Suatu hari berkatalah orang-orang kafir, ‘Bagaimana Tuhan Yang Satu itu bisa mendengar sekian banyak manusia, maka sebagai jawabannya Allah menurunkan ayat :

Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang...Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q.S. al-Baqarah : 163-164)

Ayat di atas memberikan bukti kepada kita akan keberadaan dan keesaan Allah swt, dengan memperhatikan enam fenomena di jagad raya :
1. Penciptaan langit dan bumi.
2. Silih bergantinya malam dan siang.
3. Bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia
4. Air yang diturunkan dari langit yang dapat menghidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan tersebarnya di bumi itu segala jenis hewan.
5. Pengisaran angin.
6. Awan yang dikendalikan antara langit dan bumi.

Keenam fenomena ini merupakan bukti nyata keberadaan dan keesaan Allah. Tetapi sebagaimana ditegaskan oleh ayat tersebut, semua itu hanya bermakna bagi orang-orang yang mau memikirkan. Benarlah Rasulullah saaw yang bersabda, “Agama adalah akal, tidak ada agama bagi yang tidak berakal”.

Hari ini...sebagian orang mungkin bertanya, bagaimana kita membuktikan keberadaan Allah padahal Dia tidak pernah kita lihat? Pertanyaan seperti ini terkadang membuat kita bingung dan gelisah, bahkan jika dibiarkan akan membuat kita menjadi ragu-ragu dalam beragama. Tapi, sering kali untuk menutupi kegelisahan itu kita hanya berkata.."Keberadaan Tuhan cukup kita yakini saja".

Namun, statement tersebut ternyata tidak juga mengikis kegelisahan kita. Sebab kita punya akal yg senantiasa bertanya utk mencari tahu. Karenanya, kita memerlukan argumen untuk membuktikan keberadaan Allah swt, meskipun tidak pernah kita dengar atau kita melihat diri-Nya secara langsung.

Suatu hari datanglah seorang kafir ke hadapan Imam Ali ar-Ridha as dan kemudian berkata : “Buktikanlah kepadaku keberadaan Tuhan itu”! Imam Ali ar-Ridha menjawab : “Saat aku memikirkan tentang tubuhku, aku sadar bahwa aku tidak bisa menambahkan sesuatu pada panjang dan lebarnya, atau mengurangi sesuatu daripadanya. Demikian pula, aku tak bisa memilih untuk bahagia atau tidak bahagia (sebagai contoh, bisa saja aku telah berusaha keras untuk sembuh dari sakit, tetapi tetap saja gagal). Dari bukti ini dan juga dari memperhatikan pengaturan matahari, bintang-bintang, planet-planet dan bumi serta keteraturan seluruh alam semesta, aku paham bahwa tubuhku dan alam ini ada pencipta dan pengaturnya Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa.”

Cobalah kamu lempar sebuah batu ke atas, kemudian tunggulah beberapa saat batu pasti akan kembali jatuh ke bawah menuju tanah. Kenapa hal itu terjadi? Kita akan menjawab bahwa batu itu ditarik oleh kekuatan bumi yang kita sebut dengan gravitasi. Kenapa kita yakin bahwa gravitasi itu ada, padahal kita tidak pernah mendengarnya, tidak pernah melihat bentuknya, dan tidak pernah mencium baunya? Jawabnya, kita mengetahui melalui efek yang yang ditimbulkannya, dimana kita mengamati, bahwa setiap benda-benda yang terlepas akan jatuh ke tanah.

Jadi, jika ditelusuri apa yang ada di alam dunia ini pun, akan ditemukan hal-hal yang tidak mampu indera kita menangkapnya. Ini menjadi lebih jelas dengan mengamati tingkatan makhluk yang sering kita pelajari di sekolah, sebagai berikut :
  1. Benda mati. Benda mati ini, sepenuhnya dapat diindera oleh manusia seperti batu, tanah, dan lain-lain.
  2. Tumbuh-tumbuhan. Pada tingkat tumbuh-tumbuhan sudah terdapat hal-hal yang dapat kita indera seperti batang pohon, daunya, akarnya, buahnya, dan lain-lain. Namun, ada juga hal-hal yang tidak dapat kita indera seperti kehidupan yang ada pada tumbuhan, karena tumbuhan termasuk makhluk hidup.
  3. Dunia hewan. Pada hewan juga terdapat hal-hal yang bisa diindera seperti bentuk tubuhnya atau bulunya. Tetapi ada juga yang tidak bisa kita indera seperti kehidupan, naluri, dan cinta kasih pada binatang.
  4. Dunia manusia. Perhatikan dirimu, apa yang engkau lihat. Kamu akan melihat tubuhmu, tanganmu, kepalamu, kakimu, hidungmu, bibirmu, model rambutmu, dan lainnya. Tetapi apakah engkau pernah melihat bentuk atau kekuatan hidup pada dirimu, kesadaran, akal pikiran, takut, atau cinta kasih? Kamu tidak pernah melihatnya, tetapi kamu yakin semua itu ada pada dirimu.

Dengan demikian, ternyata di alam ini banyak sekali hal-hal yang tidak dapat kita indera, tidak pernah kita lihat, dengar atau rasakan, tetapi kita meyakini keberadaannya dari efek yang ditimbulkannya. Itulah mengapa Allah berfirman di dalam al-Quran, “Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan apa yang tidak kamu lihat” (Q.S. al-Haqqah : 38-39). Sedangkan menurut pandangan ilmuwan Muslim ada lima hierarki realitas wujud yang disebut dengan al-Hadharat al-Ilahiyah al-Khamis (Lima Kehadiran Ilahi), yaitu alam nasut (alam materi), alam malakut (alam kejiwaan), alam jabarut (alam ruh), alam lahut (sifat-sifat uluhiyah), dan alam hahut (wujud zat ilahi). Hanya alam yang pertama saja (alam materi) yang mampu dijangkau oleh manusia dengan inderanya, sedangkan empat lainnya termasuk alam gaib yang tidak dapat di indera.

Sekarang, coba kamu perhatikan komputer kita masing-masing. Ia memiliki bagian-bagian hardware dan software yang kemudian di susun sehingga jadilah satu unit komputer. Mungkinkah, komputer itu tersusun dan jadi dengan sendirinya tanpa ada yang meyusun atau merakitnya? Jika, satu unit komputer saja harus ada yang membuatnya yang memiliki kecerdasan tinggi, lalu mungkinkah alam yang luas dan rumit ini datang dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh suatu kekuatan yang Tinggi? Tentu saja kita jawab : Tidak!, alam ini pasti ada yang menciptakannya.” Itulah yang kita sebut Allah swt. Inilah bukti keberadaan Allah swt.

Ya allah, karuniailah kami kecerahan hati dan ketajaman akal, untuk senantiasa memperhatikan segala jejak-jejak yang Engkau tinggalkan di alam ciptaan.”
wallahu a'lam (CaRe. Medan 3 Ramadhan 1430 H)

JAUHKAN UMAT ISLAM DARI AL-QURAN..!!

Bismillah
Allahuma shalli ala muhammad wa aali muhammad

Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Q.S. al-Isra : 9)

Napoleon Bonaparte adalah penguasa Perancis yang menaklukkan Mesir. Dia bertanya, ‘Dimanakah markas kaum muslimin?” Orang-orang menjawad, “Di Mesir”.

Sebagai seorang penakluk, maka ia bersama pasukannya bergerak menuju Mesir, disertai seorang penerjemah Arab. Sesampainya di Mesir, dia bersama penerjemahnya itu langsung menuju perpustakaan. Dia berkata kepada sang penerjemah, “Bacakan salah satu buku ini untukku.”

Si penerjemah mengambil salah satu buku di antara sederet buku yang ada, dan ternyata ia mengambil al-Quran. Lembar pertama yang dibukanya membuatnya terpesona; ia membacakan ayat ini kepada Napoleon : “Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Q.S. al-Isra : 9)

Napoleon keluar dari perpustakaan. Dari malam hingga pagi, dia terus memikirkan ayat tersebut. Setelah terjaga dari tidurnya di pagi hari, untuk kedua kalinya, dia langsung ke perpustakaan. Dia meminta kepada penerjemahnya untuk membacakan al-Quran kembali. Si penerjemah membuka al-Quran, membacakan beberapa ayat dan mengartikannya. Setelah itu, Napoleon kembali ke rumahnya. Malam harinya, ia terus tenggelam dalam lamunan tentang al-Quran itu.

Hari ketiga, dia kembali lagi ke perpustakaan. Atas permintaan Napoleon, si penerjemah langsung membacakan beberapa ayat dan menerjemahkannya. Mereka berdua kemudian keluar dari perpustakaan. Napoleon bertanya, ‘Berkaitan dengan agama manakah buku ini?’ Si Penerjemah menjawab, “Ini adalah kitab orang-orang Islam, dan mereka berkeyakinan bahwa al-Quran ini telah diturunkan dari langit kepada Nabi besar mereka.”

Napoleon lantas berkomentar penting, yang mana ucapannya itu menguntungkan kaum muslimin, sekaligus membahayakan mereka. Napoleon berkata, “Aku telah belajar dari buku ini, dan aku merasa bahwa apabila kaum muslimin mengamalkan aturan-aturan buku ini, maka niscaya mereka tidak akan pernah terhinakan. Selama al-Quran ini berkuasa di tengah-tengah kaum muslimin, dan mereka hidup di bawah naungan ajaran-ajarannya yang sangat istimewa, maka kaum muslimin tidak akan tunduk kepada kita, kecuali kita pisahkan antara mereka dengan al-Quran.”

Itulah cita-cita Napoleon Bonaparte, yaitu , ‘menjauhkan umat Islam dari al-Quran’, dan dia berhasil melaksanakannya. Hasilnya, kaum muslimin mundur dan mengalami kekalahan di seluruh dunia, ilmu pengetahuannya mengalami kemunduran, dan tingkah lakunya jauh dari etika islami.

Cita-cita Napoleon dilanjutkan oleh Gladstone, salah seorang arsitek imperialisme Inggris. Gladstone membawa al-Quran ke dalam gedung parlemen Inggris, dan sambil mengangkat al-Quran dia berkata, “Selama orang-orang Mesir itu memegang buku ini di tangan mereka, kita tidak akan menikmati kedamaian di negeri ini”.

Tujuan musuh-musuh Islam adalah menjauhkan umat Islam dari al-Quran. Sebab, saat manusia dijajah, al-Quran mengajak manusia untuk merdeka; saat manusia hidup dalam kebodohan, al-Quran mengajak pada ilmu pengetahuan; saat manusia membunuh anak perempuan, al-Quran mengajak menghormati para perempuan; saat manusia berbuat kezaliman, al-Quran mengajak menegakkan keadilan; saat orang-orang kaya menindas orang-orang miskin, al-Quran mengajak orang miskin mengambil bagian mereka dari orang-orang kaya; saat orang menjual belikan budak, al-Quran memerintahkan membebaskan budak. Saat manusia sibuk mencari kenikmatan dunia, al-Quran menyatakan agar umat Islam berdoa ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kehidupan baik di akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.”

Imam Ali bin Abi Thalib yang merupakan pintu ilmu kenabian menyebutkan keutamaan membaca al-Quran sebagai berikut :

“Ketahuilah bahwa al-Quran ini adalah pemberi nasehat yang tidak akan memperbayai, pemberi petunjuk yang tidak akan menyesatkan, dan pembicara yang tidak akan pernah berbohong. Siapa saja yang menekuni al-Quran, maka akan terjadi hal pada dirinya, yaitu penambahan dan pengurangan. Yakni, bertambahnya hidayah dan berkurangnya kebodohan pada dirinya. Dan ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang setelah mempelajari al-Quran akan mengalami kesulitan, dan tidak seorangpun sebelum mempelajari al-Quran akan merasa berkecukupan. Jadikanlah al-Quran sebagai penawar sakit bagimu, dan mintalah pertolongan kepadanya. Sesungguhnya dalam al-Quran terdapat penawar penyakit bagi sakit yang paling parah sekalipun, seperti kufur, nifak, dan kesesatan. Mohonlah kepada Allah swt dan menghadaplah kepada-Nya dengan penuh rasa cinta.”

Sekarang kita bebas memilih, mengikuti nasehat Napoleon, yaitu ‘menjauhkan diri dari al-Quran’ atau tetap bersama al-Quran dengan mengikuti nasehat Rasulullah saaw, ‘Siapa yang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan tentang masa lalu dan masa depan, maka bacalah al-Quran”. wallahu a'lam (CaRe, Medan, 02 Ramadhan 1430 H)

MANUSIA DAN AGAMA


Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad

Al-Quran menyebutkan bahwa beragama merupakan fitrah manusia, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum: 30).

Rasulullah saaw bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang akan menjadikan ia sebagai yahudi atau nasrani.” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3. h. 178)

Saat menjelaskan ayat di atas, Imam Ja’far Shadiq as. menyatakan bahwa fitrah itu berarti tauhid (mengesakan Tuhan), Islam, dan juga ma’rifah (mengenal Tuhan). (Lihat Al-Kulaini, Al-Kafi Jilid 2, h. 12-13; al-Majlisi, Bihar al-Anwar juz 3, h. 175-178).

Imam Khumaini menambahkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dengan fitrah itu sebagai konsekuensi keberadaannya. Fitrah ini telah terkait erat dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia. (Imam Khomeini. 40 Hadis: h. 207).

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa : seluruh manusia memiliki jiwa keberagamaan yang tertanam dalam dan tidak bisa dihilangkan. Maksud dari dîn (agama) dalam ayat ini bisa berarti sekumpulan ajaran-ajaran dan hukum-hukum pokok Islam, atau kondisi penyerahan diri dan tunduk secara total di hadapan Allah. Alhasil, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa mengenal Tuhan dan meyembahnya adalah hal yang bersifat fitri dan telah dibawa sejak lahir. jadi, manusia adalah makhluk beragama. (Lihat Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan Jilid 16. h. 182-186; Nashir Makarim Syirazi. Tafsir al-Amtsal Jilid 12. h. 471-473).

Begitu pula, di alam gaib, sebelum manusia dilahirkan, dalam suatu acara ‘tatap muka’, ia bersaksi akan keberadaan dan keesaan allah. Allah berfirman : “Dan (ingatlah) Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan).’ (Q.S. al-A’raf: 172)

Makna ayat ini berarti bahwa sebelum manusia dilahirkan ke alam dunia, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di alam gaib (malakuti) untuk memberikan kesaksian atas keberadaan dan keesaan Allah swt. Kesaksian mereka menjadi mitsaq (perjanjian) langsung dengan Allah swt. yang mengikat hingga sampai hari akhir nanti dan harus dipertanggungjawabkan, dimana manusia tidak dapat mengingkarinya dengan alasan apapun. Ini berarti bahwa setiap orang secara genetik telah cenderung mengakui adanya Tuhan. (Lihat Yazdi. Filsafat Tauhid, h. 45-47; Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan jilid 8, h. 311-330; Syeikh Nashir Makarim Syirazi, Tafsir al-Amtsal jilid 5, h. 262-267; Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir jilid 15, h. 40-49; Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran jilid 3, h. 670)

Pandangan al-Quran ini diakui oleh banyak ilmuwan yang saat ini. Mereka menyatakan bahwa manusia dilahirkan membawa jiwa keagamaan, dan baru berfungsi kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan jiwanya. Will Durant misalnya, mengatakan : “agama merupakan suatu perkara yang alamiah, lahir secara lansung dari kebutuhan dan perasaan instinktif kita” (Religion is a natural matter, born directly of our instinctive needs and feelings).

Alexis Carrel menulis : ‘Perasaan beragama terpancar dalam diri manusia sebagai insting dasar. Manusia, sebagaimana ia membutuhkan air bagi kehidupan, begitu pula ia membutuhkan Tuhan” (The mistic sense is the stirring deep within us of a basic instinct. Man, just as he needs water, solikewise needs God).

Sayid Mujtaba Musawi Lari menyebutkan ada empat pembawan dasar manusia, yaitu : 1. Perasaan beragama (religious sense) 2. Kebenaran (truth), 3. Kebaikan (goodness), 4. Keindahan (beauty). (lihat Musawi Lari, Knowing God, h. 20; Musawi Lari. Ushul al-Aqaid fi al-Islam Juz I. h. 28-29)

Fitrah manusia dibagi dua pada dasarnya di bagi pada dua jenis :
1. Fitrah akal (aqliah) yang merupakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tanpa dipelajari (badihiyât awwaliyah)
2. Fitrah iman, kecenderungan dan keinginan untuk beribadah dan menyembah Tuhan.

Adapun ciri-ciri fitrah adalah :
a. Fitrah merupakan pemberian Allah dan format penciptaan.
b. Fitrah bersifat universal yakni terdapat pada setiap wujud manusia.
c. Fitrah tidak dapat dilenyapkan (meskipun sering disembunyikan) dan akan senantiasa ada selama manusia hidup.
d. Fitrah tidak diperoleh dari proses belajar, meskipun untuk memperkuat dan mengarahkannya proses pendidikan sangat diperlukan.

Dengan demikian, fitrah mengenal Tuhan telah terdapat dalam diri manusia secara langsung yang menjadi model sekaligus modal khusus bagi dirinya. Terdapat ruang di dalam hati manusia untuk mengenal Tuhan secara sadar dan mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan menggunakan dalil-dalil akal yang argumentatif. ‘Jika akal menemukan Tuhan dengan keteraturan dan pemikiran, maka rasa keberagamaan menemukan Tuhan dengan cinta’, ucapk Sayid Mujtaba Musawi Lari. Muhammad Taqi Falsafi menambahkan, “selama di muka bumi masih terdapat manusia, selama masih terdapat fitrah, niscaya cahaya tersebut tak akan pernah padam.” Jadi, agama adalah fitrah yang telah tertanam kuat pada diri manusia, bukan hasil rekayasa budaya dan ilmu. Fitrah tersebut merupakan model penciptaan yang tak bisa diubah dan dihilangkan, walaupun ia dapat ditekan dan disembunyikan. Cahaya keimanan terus membara dalam kalbu umat manusia, karena sumber cahaya yang membara ini adalah fitrah manusia. Wallahu a'lam (CaRe. Medan, 1 Ramadhan 1430 H)