Powered By Blogger

Minggu, 31 Januari 2010

FILSAFAT SEBAGAI WARISAN PERADABAN ISLAM

Telah menjadi ittifaq para ahli bahwa filsafat dengan nalar burhani-nya merupakan salah satu warisan berharga nalar Islami, selain bayani (fiqih), dan irfani (tasauf). Muhammad Abid al-jabiri dengan baik telah membahas trilogi nalar islami ini dalam kitabnya "Bunyah al-Aql al- Araby"...bagi para pemikir Islam kontemporer seperti al-Jabiri, Hasan hanafi, al-Afghani, dan Sir. Iqbal Lahore, meninggalkan filsafat (nalar burhani) merupakan penghancuran dan bunuh diri bagi peradaban Islam.

Bagi Hasan Hanafi, ini merupakan turas berharga yang sangat sukses mempertahankan eksistensi ajaran Islam, disamping Ilmu Kalam, Ushul Fiqh, dan Tasauf. Lebih lanjut, menurut Hanafi, meskipun Ilmu Kalam mirip dengan filsafat dan merupakan tradisi berpikir warisan Islam yang agung namun filsafat memiliki kelebihan sendiri, diantara kelebihan tersebut –dengan bahasa yang dipersingkat—adalah :
  1. Merubah teologi menjadi ontologi. Di sini filsafat tidak hanya berbicara tentang Tuhan tetapi tentang wujud secara umum.
  2. Tidak membutuhkan metode nash yang dominan dalam ilmu kalam. Filsafat telah menancapkan rasionalisme Islam yang independent disamping kalam yang menujudkan kebenarannya dari formulasi makna-makna wahyu.
  3. Filsafat telah mengungkapkan dimensi misteri dalam nash agama, stile-stile imaginer dan bentukbentuk seni, kemudian ia melompat menuju metaimaginasi yang membebaskan dirinya dari bentuk-bentuk seni dan menghancurkan keharfiahan makna.
  4. Melepaskan dari bahasa teologi yang tertutup dan tunduk pada rumus keagamaan, menuju jalan rasional, terbuka, dan humanis.
  5. Filsafat mampu menggabungkan teori-teori yang berserakan yang ditinggalkan ilmu kalam.
  6. Filsafat telah menghapuskan keterpecah belahan firqah-firqah menjadi semangat yang tunggal dominan.
  7. Filsafat mencerminkan ufuk yang lebih luas, lebih sempurna dan universal ketimbang ilmu kalam.
  8. Secara prinsip, filsafat berlandaskan pada pembuktian dan membahas kepastian internal, rasional dan natural, sementara ilmu kalam selalu bertumpu pada polemic (retorika) dan jadaliyah (debat) yang lebih bertujuan membungkam lawan daripada mencari kebenaran. (Hasan Hanafi. Turas dan Tajdid. h. 225-234).
Dengan nalar filsafat, umat Islam dituntut untuk tidak melakukan apologetik dengan kepura-puraan ganda, yakni kebanggaan menyebutkan Islam sebagai agama yang rasional dan menghargai ilmu pengetahuan, namun disisi lain sangat takut atau bahkan marah saat keyakinan agamanya yang doktriner dipertentangkan dengan hasil-hasil sains yang faktual.

Meskipun demikian, filsafat bukanlah alat untuk menjustifikasi kebenaran atau kesalahan agama, tetapi lebih sebagai alat bantu yang dipertimbangkan untuk dapat menafsirkan agama dengan benar, aktual, dan fungsional. Ini bukanlah usaha apologetis tetapi ijtihadis. Dengan cara ini Filsafat akan Memberikan ketelitian manusia dalam berpikir, sehingga berimplikasi memperkuat keyakinan agama dan kebenaran ajaran yang dianutnya.

Salah satu yang menyebabkan tertancapnya akar keyakinan beragama secara kuat adalah paradigma dan ideologi yang dianut. Ideologi pada dasarnya merupakan tumpuan agama yang diperoleh dari pandangan dunia (al-ru’yah al-kauniyah; world view) yg menafsirkan secara universal keberadaan hirarki wujud semesta. Al-ru’yah al-kauniyah ini sebagai hasil kajian dan penalaran yang memberikan kesimpulan tentang alam jagat raya (makrocosmos), tentang manusia (mikrokosmos), masyarakat dan sejarahnya, diperoleh dari analisis filosofis yang matang yang berasaskan pada epistemologi islami. Dengan demikian jelaslah, bahwa nalar filsafat dgn asumsi2 metafisisnya, onotologis, epistemologis, aksiologis, visi, dan sistem nilai membantu manusia membangun keyakinannya.

Di jurusan lain, jika kita menelusuri ayat-ayat al-Quran yang tersurat, yang tersirat, maupun yang tersuruk, maka, walaupun al-Quran bukanlah kitab filsafat yang diilhami melalui refleksi filosofis, namun tak mungkin pula kita pungkiri bahwa al-Quran memuat unsur-unsur yang filosofis, rasional, dan memancing nalar untuk melakukan fikr yang argumentatif.

Perhatikanlah ayat-ayat berikut ini :

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (Yaitu) orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya mereka berkata) : Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. (Q.S. Ali Imran: 190-191)

“Seandainya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Q.S. al-Anbiya: 22); “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) kamu akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu” (Q.S. Fathir: 43).

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika filsafat dikatakan sebagai salah satu model al-Quran berdalil. Bahkan hal ini diperkuat, jika kita merujuk pada pembagian filsafat secara umum, yang dibagi pada dua yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat Teoritis adalah mengkaji sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan Filsafat Praktis berarti membahas bagaimana mestinya manusia bertindak, baik dalam poisisi individual maupun sosial.

Dengan makna ini, meskipun pada dasarnya filsafat ingin mendapatkan informasi seakurat mungkin tentang wujud, baik itu wajib al-wujud (Tuhan) sebagai sumber keberadaan, maupun mumkin al-wujud (wujud makhluk) sebagai efek keberadaan wajib al-wujud, akan tetapi titik terang pencarian informasi yang benar melalui refleksi filosofis harus pula diaplikaskan dalam bertindak yang benar sejauh amal perbuatan. Inilah ciri khas filsafat dan filosof Muslim....wallahu a'lam...

{tulisan ini bisa juga diakses di www.abuthalib.co.cc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar