Fenomena keberagamaan telah hadir sejak manusia diciptakan. Dari bangsa yang diklaim primitif di abad kebodohan, sampai bangsa yang industrial hingga informatif di abad pengetahuan, agama tetap memainkan peranan penting bagi pemaknaan hidup dan kehidupan.
Tokoh-tokoh agama disetiap saat dan tempat menduduki strata istimewa, baik dalam roda pemerintahan yang dikelola oleh rezim kezaliman maupun rezim keadilan. Mulai pemerintahan Teokrasi, Monarki, Aristokrasi, bahkan demokrasi. Dari raja yang bergelar Firaun hingga pemimpin yang disebut Amirul Mukminin, presiden ataupun wali faqih.
Namun begitu, tidak bisa pula kita pastikan, bahwa posisi agama yang diagungkan tersebut (ideal) sesuai dengan prektek lapangan yang berlaku (realitanya). Seolah hal ini menjadi wajah ganda agama, yang menghadirkan dua hal berlainan dengan satu kemasan. Orang bisa bicara kedamaian melalui agama, sehebat tindakan perang yang dilakukan atas nama agama. Satu komunitas agama bisa menggaungkan toleransi, di saat yang sama meneriakkan arogansi. Firman “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, diimbangi dengan ungkapan “masuklah ke dalam agamaku”. Perbedaan adalah rahmat dalam pandangan Nabi namun menjadi azab ditangan pengikut-pengikutnya.
Singkatnya, sering kali agama hanya menjadi komoditas kepentingan manusia dengan melupakan sumbernya yakni Tuhan Yang Esa. Implikasinya, lahirlah gerakan pembenci agama ditengah komunitas pencinta agama, slogan ‘kematian Tuhan’ yang dipublikasikan Nietzche mengukuhkan ‘kehidupan manusia’. Pada sisi lain ‘kecanduan kekayaan dan kekuasaan’ menggantikan ‘kecanduan pada agama’ yang ditahbiskan oleh ‘nabinya’ kaum Marxis. Sehingga dianggap inilah abad yang paling membahayakan pada agama, sayangnya Tuhan tidak akan menurunkan lagi Nabi dan Rasulnya untuk membela kita semua. Sebab itu, perjuangan agama menjadi tanggung jawab kolektifitas manusia yang masih menyimpan Nama Tuhan di relung-relung kalbunya. wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar