PERSAMAAN ALIRAN SUNNI-SYIAH
Aliran shiah (syiah) tidak hanya
berada di Iran atau Negara-negara Arab lainnya, namun nyatanya juga
punya pengikut di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara. Kasus konflik
terjadi di Sampang, Jawa Timur, belum lama ini barangkali, dan juga
tidak salah kalau disebut sebagai salah satu factor terungkapnya secara
menyeluruh di bumi persada nusantara ini bahwa aliran syiah itu juga ada
di Indonesia.
Munculnya pendapat yang menyebut syiah
itu bukan Islam, telah mengundang reaksi keras dari kelompok jamaah
syiah di Sumatera. Kalau aliran sunni mempunyai empat imam yang
dipercaya dan turut diakui jamaah syiah, namun sebaliknya syiah juga
mempunyai imam dengan mazhabnya yang juga diakui ulama sunni. Pro-kontra
mengenai syiah ini akan terus berkembang apabila masing-masing pribadi
atau kelompok tidak memahami secara mendalam ajaran Islam yang dianut
syiah. Berikut wawancara wartawan Harian Waspada Aidi Yursal (AY) dengan Ketua Yayasan Islam Abu Thalib, Candiki Repantu (CR) yang juga ustadz syiah, serta juga dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara Prof. Dr. Abdullahsyah, MA (Prof).
*****************************************
Candiki Repantu
(Ketua Yayasan Islam Abu Thalib Medan)
AY : Pak Ustadz, darimana
sebenarnya akar permasalahan sehingga terjadi aliran syiah yang basisnya
berada di Iran dengan pengikutnya bertebaran di mana-mana terutama di
Negara-negara timur –tengah?
CR : Perlu saya jelaskan, saat membicarakan syiah kita harus membatasi persoalannya agar terhindar dari semantic fallacies,
yaitu kesalahan berpikir karena salah member makna atau menggunakan
kata. Syiah itu secara bahasa artinya pengikut, tetapi secara teknis,
saat ini syiah itu berrarti kelompok Islam yang meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW wafat, maka yang melanjutkan kepemimpinan Islam adalah Ali
bin Abi Thalib dan sebelas keturunannya. Jadi, jumlah 12 orang. Dan
inilah yang disebut syiah imamiyah ithna asyariyah. Keyakinan berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa sepeninggalnya ada 12 imam/khalifah yang harus diikuti.
Begitu pula Nabi bersabda
yang maknanya : “Aku tinggalkan bagi kamu dua hal yang berharga yang
jika kamu berpegang teguh kepadanya tidak akan sesat selamanya, yaitu
Kitabullah dan Keturunanku, Ahlulbaitku.” Hadits tersebut diriwayatkan
baik oleh sunni ataupun syiah. Jadi syiah menjadikan ahlul bait Nabi
Rasulullah sebagai panutan dan pemimpin umat. Begitu pula Nabi Muhammad
SAW menyatakan : “Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin, maka Ali
adalah pemimpinnya stelahku.” Jadi pada dasarnya perbedaan antara sunni
dan syiah itu adalah tentang kepemimpinan pasca Nabi Muhammad SAW. Namun
bagi syiah sendiri hal itu tidaklah menyebabkan seseorang itu keluar
dari Islam atau kafir.
AY : Apa syiah ini juga punya pecahan atau terbagi lagi?
CR : Ya memang. Sedikitnya tiga kelompok atau mazhab yang ada saat ini dalam syiah. Kelompok syiah terbesar bernama Ithna Ashariyya, dan paling kecil bernama Ismaili dan Zaidi. Menurut keputusan risalah Amman yang ditandatangani ulama sedunia, termasuk Indonesia tahun 2005, bahwa aliran syiah ithna (itsna) Asyariah dan Zaidiyah adalah mazhab resmi dalam Islam. MUI juga mengakuinya.
AY : Syiah dengan
kelompok jamaahnya jelas ada di Indonesia, termasuk di Medan. Bagaimana
pandangan aliran sunni di Indonesia?
CR : Kalau boleh
kita bagi secara kasarnya, di dunia ini hanya dua kelompok atau aliran
yaitu aliran syiah dan sunni. Syiah terbagi lagi dalam beberapa mazhab sebagai kita sebutkan di atas, dan demikian pula aliran sunni dengan beberapa mazhab.
Namun di Indonesia ini sering orang tidak mau menyebut dirinya dari
aliran syiah atau sunni dan lebih mau disebut sebagai penganut Islam
saja. Bahkan dalam ranah yang lebih kecil lebih mau menyatu dalam
organisasinya seperti NU, Muhammadiyah, al-Washliyah dan lain-lain.
AY : Apa persamaan mendasar antara syiah dan sunni?
CR : Persamaan
mendasar adalah terdapat pada rukun Islam, yaitu antara syiah dan sunni
sama-sama mengakui lima rukun Islam, yaitu percaya kepada Allah dan para
Rasul, shalat lima waktu sehari semalam, berpuasa pada bulan ramadhan,
zakat dan naik haji ke Makkah. Khusus mengenai shalat lima waktu,
terkadang orang kurang begitu paham dan malah menuding aliran syiah
shalatnya 3 waktu sehari semalam. Padahal kami di syiah itu boleh
menjamak shalat yang sama jumlah rakaatnya dilaksanakan dalam satu waktu
bila ada suatu tugas yang mungkin saja bias-bisa lalai dalam
menunaikannya, seperti shalat Zhuhur dan Ashar, orang bias menjamaknya
atau menyatukan. Lain lagi dengan apabila kita dalam perjalanan jauh
umpamanya, kita itu bukan menjamaknya tetapi meng-qashar-nya atau
memendekkannya, dan juga dilakukan jamaah sunni. Jadi tidak benar
anggapan itu bahwa jamaah syiah shalatnya tiga waktu saja sehari
semalam. Singkatnya, shalat tertentu seperti Zhuhur-Ashar, Maghrib dan
Isya boleh dijamak dan boleh tidak dijamak.
AY : Kalau ada persamaan, kenapa menurut pandangan pak ustadz kok mesti akhir-akhir ini menjadi diributkan?
CR : Konflik
sunni-syiah lebih banyak dikarenakan kesalahpahaman saja. Selama ini ada
kepentingan politik internasional untuk menghancurkan persatuan kaum
muslimin. Karena jika kaum Muslimin bersatu maka musuh ulama Islam yaitu
Amerika dan Zionis Israel serta antek-anteknya akan kehilangan
kekuatan. Negara-negara Islam bersatu akan menjadi kekuatan adidaya di
dunia ini. Sebenarnya banyak saudara-saudara kita orang sunni yang
menyadari hal ini dan berjuang untuk persatuan umat Islam. Bahkan
sekarang ini telah berdiri lembaga pendekatan antar mazhab untuk
membangun kesatuan umat Islam dunia yang beranggotakan ulama-ulama baik
dari sunni ataupun dari syiah. Jadi isu yang memvonis syiah itu sesat,
kafir, dan Alquran-nya beda, mengkafirkan sahabat, adalah isu “murahan”
yang tidak relevan lagi dimunculkan. Sebab masyarakat kita sudah cerdas
dan bias memilah-milah antara fitnah dan kenyataan. Jadi perbedaan
itulah yang dibesar-besarkan yang sepertinya ada pribadi atau kelompok
yang menginginkan aliran syiah dan pengikutnya harus disingkirkan di
muka bumi persada nusantara ini. Saya sendiri tidak tahu apa motif dan
kepentingannya.
AY : Apa ada menurut
pandangan orang syiah, ada budaya syiah yang juga dilakukan orang sunni
seperti yang mungkin juga terdapat di Indoensia?
CR : Ya memang
ada. Beberapa contoh adalah pelaksanaan acara kenduri, itu adalah budaya
orang syiah. Kenduri itu bahasa Persia untuk memperingati sesuatu.
Mengadakan acara 40 hari meninggalnya anggota keluarga, itu adalah
budaya keagamaan orang syiah. Di Bengkulu itu ada namanya Tabot, di
Padang Pariaman (Sumbar) ada Tabuik, di Jawa ada bubur asyura dan
lainnya. Kesemua acara ini digelar pada hari asyura, hari memperingati
kematian Hussein, anak Ali bin Abi Thalib. Namun orang syiah tidak mau
mengklaim dan ribut-ribut soal itu karena yang sebenarnya itu adalah hak
orang syiah yang kalau di Irak dimeriahkan dengan ziarah ke Karbala
(Irak), tempat makam Ali dan Husein.
AY : Tadi soal persamaan, apa pula perbedaan syiah atau sunni?
CR : Aliran saja
sudah berbeda, tentu jelas ada perbedaannya. Perbedaan utama antara
sunni dan syiah terletak pada soal kepemimpinan. Persoalan fikih itu
adalah ijtihad yang merupakan cabang dalam Islam. Perbedaan lain
paling sederhana bias dilihat sewaktu anggota jamaah syiah shalat,
mereka tidak melipat kedua tangannya dengan meletakkan di atas dada
seperti yang dilakukan jamaah sunni, tetapi hanya berdiri lurus dengan
kedua tangan tanpa melipat atau meletakkan di dada. Malah cara shalat
dengan meluruskan tangan itu juga ada di sunni, yaitu pada mazhab
Maliki. Selain itu orang syiah kalau menyalatkan jenazah terdiri dari
lima takbir sementara orang sunni empat takbir. Makanya kalau kami dari
syiah menjadi imam dalam menyalatkan seorang jenazah terlebih dahulu
mengingatkan jamaah bahwa shalat jenazah ini terdiri dari lima takbir,
dan sehingga jamaah tidak kebingungan dan muncul protes selama atau
setelah shalat.
AY : Pak Ustadz, apakah ada masjid orang syiah di Medan ini?
CR : Jamaah syiah
di Medan ini tdiak punya masjid khusus. Mereka bergabung dengan jamaah
Muslim lainnya tanpa muncul perbedaan mendasar. Mereka shalat di masjid
sunni. Jadi tidak ada masalah antara syiah dengan saudara kita umat
Muslim lain di Medan ini. Dan Medan dengan heterogenitas masyarakatnya
dapat menjadi contoh meredakan konflik bagi daerah lain di Indonesia.
**************************************
Prof. Dr. Abdullah Syah, MA
(Ketua MUI Prop. Sumatera Utara)
AY : Assalamualikum pak Prof, saya
ingin minta tanggapan pak Prof mengenai keberadaan aliran syiah di
Indonesia, khususnya Sumatera dengan kota Medannya?
Prof: Alaikumussalam Pak Aidi.
Sepanjang yang saya ketahui, jumlah jamaah syiah sangat kecil di
Sumatera Utara ini. Dan dalam melakukan ibadah mereka juga tidak ada
masalah, dan malah cara ibadahnya boleh disebut sama seperti yang
dilakukan Ahlussunnah Wal jamaah (sunni).
AY : Apa harapan Bapak Prof kepada jamaah syiah walau berada dalam kelompok minoritas atau kepada jamaah sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah?
Prof : Kita
berharap jamaah syiah atau kepada jamaah sunni agar bias melakukan
ibadah secara sama, kalaupun ada perbedaan umpamanya hendaknya dalam
perbedaan yang wajar saja tanpa menyolok dan tanpa menimbulkan keresahan
jamaah. Selagi ada kesamaan baik dalam ibadah, akhlak dan syariah, ya
tidak masalah.
AY : Bagaimana dengan konflik di Sampang yang katanya dipicu masalah syiah?
Prof : Kita di
Sumut ingin hidup satu sama lain secara harmonis, saling menghargai dan
saling menghormati dengan jalinan persaudaraan yang kuat. Itu bukan
hanya antara jamaah sunni dan syiah, tetapi dengan saudara-saudara kita
dari umat lain sangat penting dijalin tali persaudaraan yang kokoh itu.
Kita di Sumut ini ingin hidup tenang, aman, damai tanpa konflik sehingga
kita masing-masing dari agama mana pun dan etnis apapun bias
beraktivitas setiap hari dengan baik, lancer dan penuh kedamaian
sehingga kita bias menuju hidup yang lebih makmur dan lebih sejahtera.
Dan kita juga mengisyaratkan kepada saudara-saudara kita di daerah lain,
agar bias menjadikan contoh dan tauladan daerah Sumut dalammenjalani
hidup dan kehidupan yang harmonis, aman dan damai dengan menyingkirkan
jauh-jauh konflik dalam keberagaman perbedaan yang saling dimengerti dan
saling dipahami.
AY : Apa yang ditakuti dengan keberadaan aliran syiah itu pak Prof?
Prof : Yang kita
perlu sikapi secara hati-hati adalah kalau ada aliran syiah yang sesat,
karena syiah itu juga punya banyak aliran, dan salah satu darinya
mungkin saja aliran sesat. Di Sunni pun bukan tidak mungkin bias
terjadi. Malah sudah banyak kita dengan laporan ada aliran sesat yang
cukup meresahkan masyarakat. Yang jelas sunni dan syiah perlu menjalin
hidup berdampingan yang penuh perdamaian dan harmonis tanpa konflik. (sumber : Koran Nasional Harian Waspada, Rabu, 12 September 2012)