- Teosentris. Ini berarti semesta berpusat pada ketuhanan. Teosentris bukan berarti menafikan kemanusiaan, akan tetapi menjadikan Tuhan sebagai poros aktivitas manusia. Ini juga berarti apa yang dilakukan manusia, diantaranya ilmu pengetahuan bukan saja untuk dirinya sendiri (ilmu untuk ilmu) atau untuk sipencari ilmu (manusia), tetapi juga dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
- Keteraturan-Kausalitas. Artinya bahwa peristiwa-peristiwa dan fenomena apapun sebenarnya suatu hal yang padanya berlaku hukum sebab-akibat karenanya proses itu berjalan teratur.
- Pluralitas epistemologi. Asumsi ini menegaskan bahwa perolehan pengetahuan, sumber pengetahuan, pengujian pengetahuan, hingga neracanya, bukanlah satu, akan tetapi plural (beragam). Kita mengakui indera, akal, dan juga intuisi. Pada aspek lain sumber pengetahuan bukanlah hanya dalam kitab suci, tapi juga alam semesta yang terbentang, diri manusia itu sendiri, masyarakat, dan berbagai fenomena yang menyertainya.
- Pluralitas ontologis. Dengan paradigma ini kita menerima akan kesejatian eksistensi dan memahami bahwa terdapat hal-hal yang terindera (empiris/material) maupun tidak terindera (immaterial). Yang mana eksistensi itu terbentang dari eksistensi tertinggi (the ultimate reality) hingga eksistensi terendah dengan relasi yang tak terputus (gradasi eksistensi). Eksistensi semesta ini terus menerus bergerak untuk memperoleh kesempurnaannya yang sejati.
- Objektivitas yang menunjukkan kemungkinan diperolehnya pengetahuan yang benar. Untuk itu, sebaiknya tidak mencampurkan standard ilmu dan nilai sebab akan menghasilkan kerancuan. Ilmu berpijak pada level epistemologis benar dan batil, sedangkan nilai berpijak pada level aksiologis baik atau buruk. Bagi penganut netralitas ilmu ataupun tidak, tetap mesti dibedakan evaluasi antara ilmu dan nilai. Artinya, standard ilmu adalah epistemologi ilmu dan standard nilai adalah nilai. Tidak layak kita mengesampingkan penelitian ilmiah dengan argumen subjektivitas atas nilai sesuatu.
- Penalaran filosofis merupakan jembatan antara sains, etika dan agama. Sebuah kemajuan agama dan ilmu tidak akan tercapai tanpa filsafat. Sebab wawasan kemandirian dalam suatu penyelidikan sulit dibentuk, karena tanpa berpikir filosofis keyakinan dan rasa percaya diri akan sulit diwujudkan. Filsafat adalah sebuah model berpikir yang membahas berbagai hal untuk melahirkan temuan-temuan matang dan rumus-rumus tentang realitas yang sangat berguna untuk membangun sebuah kehidupan yang berperadaban. Inilah proyek “menghidupkan kembali pemikiran filosofis”.
"Tuhan Menebarkan Hikmah-Nya di Semesta,Ambillah Agar Kita Menyempurna"
Selasa, 26 Oktober 2010
DINAMIKA SAINS, KEKUASAAN DAN MORALITAS
Rabu, 25 Agustus 2010
MENGUKUHKAN KEMBALI PENDIDIKAN AKHLAK
MENGUKUHKAN KEMBALI PENDIDIKAN AKHLAK
Oleh : Sri Fitria Ningsih
PEMBUKA
Narkoba mengancam generasi muda kita. “pil setan” dan “bubuk iblis” ini telah beredar sedemikian mudahnya hingga tidak hanya ditemui di gang-gang tempat mangkalnya para bandit, melainkan juga telah memasuki lorong-lorong kelas tempat calon pemimpin bangsa ini dididik. Pelajar yang seharusnya menyandang tas dan buku dengan berpakaian rapi, mendadak kabur di jalanan dengan menyandang pedang dan kelewang. Apa yang terjadi? Sudah pasti mereka lagi tawuran.
Dijurusan lain kita melihat, eksploitasi seksual telah membudaya di tengah-tengah kita sehingga tidak ada lagi rasa malu dan harga diri. Bentuk klasik yang namanya prostitusi mewabah tidak hanya digedung-gedung mewah tampatnya para kaum elite, tetapi juga di trotoar jalan tempat singgahnya kaum pailit. Sensualitas yang ditampilkan, tidak lagi di ruang tertutup yang menyeleksi para undangannya, melainkan telah dijajakan di pasar publik melalui beragam kemasan bisnis yang disebut iklan, model, dunia hiburan, serta lainnya yang diperdebatkan atas nama seni dan kebebasan ekspresi. Tak urung, pemimpin redaksi majalah dewasa play boy saja mendapat angin segar dengan vonis bebas yang dibacakan Bapak Hakim dalam sidang yang terhormat. Padahal di persidangan lain, tak jarang kita mendengar seorang kakek memperkosa cucunya, seorang ayah “meniduri” anaknya, dukun melakukan tindakan cabul, sodomi, atau pesta seks dikalangan pelajar, mahasiswa, bahkan pejabat, yang tergiur hanya karena pandangan menantang dalam kemasan pornografi dan pornoaksi.
Kita arahkan pandangan ke sudut lain, maka terlihat ada pembunuhan sadis dan perampokan tragis. Kehidupan di bawah garis kemiskinan dengan ekonomi sulit yang melilit, menyembunyikan nurani suci dan belas kasih demi sejengkal perut untuk bertahan hidup. Tidak ada lagi tempat yang aman, karena pencopet, pencuri, penggarong, perampok, atau apapun namanya bertebaran dipinggir jalan, terminal, bus
Kemudian seorang ibu tega menjual anaknya, perdagangan bayi telah menjadi lahan untuk mengais rezeki. “Perbudakan” modern atas nama tenaga kerja, babu atau pembantu meninggalkan jejak-jejak luka di fisik dan di hati karena hidup mereka di bawah cengkeraman kejam sang majikan.
Itulah sekilas daftar masalah yang kita jumpai dalam tiap sudut kehidupan ini. Banyak lagi yang bisa kita daftarkan sebagai anggota tumpukan kejahatan. Bagi para analis dan pemerhati, sudah seharusnya pemerintah dan kita semua berusaha meningkatkan kehidupan sosial ekonomi rakyat, atau agar para aparat lebih bersikap tegas kepada para penjahat dengan meningkatkan sistem keamanan, atau mungkin sudah saatnya tertib politik disadari oleh para pejabat yang menggunakan kekuasaan sewenang-wenang. Namun jika kita cermati dengan lebih jeli dan dalam, maka negeri ini telah luluh lantak di hantam badai krisis yang lebih dahsyat dari moneter, yaitu krisis akhlak (moralitas).
URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK
Akhlak (moral), dikatakan oleh Sayid Mujtaba Lari merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi perkembangan masyarakat, apakah akan menuju kemajuan atau malah tersungkur kepada lembah kehancuran.[1] Untuk itu, sebuah kenyataan penting jika empat belas abad yang lalu, seorang manusia sempurna di utus dengan tujuan inti untuk menyempurnakan akhlak manusia, “sesungguhnya aku di utus untuk meneyempurnakan akhlak manusia”, begitu sabda agung kenabian Muhammad saww.
Sabda di atas mengindikasikan bahwa pembentukan akhlak merupakan dimensi puncak terpenting dari kesempurnaan manusia. Secara umum hal ini dapat kita benarkan. Sebab, lazimnya kita menilai manusia dari akhlaknya hingga ukuran-ukuran fisikal terpental jauh dari penilaian. Misalnya, jika ada orang yang tampan atau cantik, tetapi berperangai buruk, maka secara otomatis kita akan mencibirkannya. Begitu juga dengan orang yang berilmu pengetahuan, cerdas dan pintar, akan tetapi berakhlak rendah, kurang ajar dan tidak tahu sopan santun, maka kita akan cenderung membenci dan menghinanya. Namun sebaliknya, ada orang yang biasa-biasa saja dari fisiknya, tidak terlalu cerdas otaknya, tetapi berkhlak mulia, maka kita akan senang bergaul dan berinteraksi dengannya. Jadi, sederhananya dapat disimpulkan nilai kemanusiaan terletak pada akhlaknya.
Karena itu, bagi penulis konsepsi pendidikan akhlak merupakan kunci sukses tarbiyah islamiyah (pendidikan Islam). Sebab, dimensi akidah, dimensi ibadah (syariah), dan dimensi akhlak adalah trikonsepsi struktur ajaran Islam. Akan tetapi akhlak menempati posisi inti sebagai puncak dari pembuktian akidah dan pelaksanaan ibadah. Insan kamil (manusia paripurna) yang merupakan orientasi tertinggi kemanusiaan dicirikan secara khas dengan karakter akhlak al-karimah (akhlak mulia).
Merujuk pada sejarah pemikiran, maka persoalan akhlak telah menjadi salah satu pembahasan serius para pemikir dunia, baik di Timur maupun di Barat, pra Islam maupun pasca Islam. Yunani, yang merupakan salah satu ikon peradaban dunia telah meninggalkan jejak-jejak pemikiran para ilmuannya mengenai akhlak seperti yang dapat kita temui pada ungkapan-ungkapan Socrates, Plato maupun Aristoteles. Socrates dan Plato menuangkan pemikirannya dalam kitab Republic-nya sedangkan Aristoteles secara konfrehensif membahas dalam buku Nichomachian Ethic yang sangat terkenal itu.
Dalam sejarah Islam Klasik kita mengenal sederet filosof besar yang mengukir sejarah seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, al-Ghazali hingga Mulla Sadra. Di abad kontemporer ini kita mengenal Allamah Thabathabai, Murtadha Muthahhari, Imam Khumaini, dan juga Sayid Mujtaba Musawi Lari. Sederetan tokoh mutakhir ini, dikatakan sebagai pelanjut tradisi ilmiah filsafat Islam, yang banyak menulis buku dan telah diterjemahkan dan disebarkan dalam berbagai bahasa seperti Persia, Arab, Inggris, Perancis, Urdu, Jerman, dan tentunya juga Indonesia.
Dengan antusiasme yang tinggi, para pemikir Islam menelaah sejarah perkembangan masyarakat dalam dinamika maju dan mundurnya. Beragam studi dilakukan, bahkan tak jarang hingga membandingkan antara peradaban Barat dan Islam. Diantara objek kajian yang dengan serius digeluti adalah persoalan pertumbuhan dan perkembangan akhlak serta spiritual manusia dengan ragam dialektisnya dalam kehidupan sosial, budaya, politik, ataupun pergumulan ekonomi kemasyarakatan. Kesungguhan dan ketekunan para ulama pewaris nabi yang luar biasa dalam mengembangkan pokok-pokok pikiran demi merekonstruksi konsepsi pendidikan akhlak dari abad ke abad, telah menorehkan tinta emas dalam tradisi pengetahuan teoritis dan pengamalan praktis dalam kontruksi peradaban Islam yang gemilang.
MAKNA AKHLAK
Secara etimologis, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu al-khuluq yang berarti al-sajiyyah (karakter), ath-tabhi (tabiat atau watak), al-adah (tradisi atau kebiasaan), al-din (agama), al-muruah (harga diri). Sedangkan menurut pandangan para ulama Islam, meskipun beragam dalam menyusun defenisinya namun setidaknya ada defenisi umum yang dirumuskan, yaitu akhlak merupakan karakter yang telah tertanam (malakah) dalam jiwa manusia sehingga mengarahkannya dengan mudah untuk melakukan tindakan-tindakan. Misalnya, Allamah Thabathabai mendefenisikan ilmu akhlak sebagai ilmu yang membahas pembawaan-pembawaan manusia yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan tumbuh-tumbuhan, kekuatan binatang, dan kekuatan kemanusiaan untuk membedakan keutamaan dari keburukan agar manusia berhias dan bersifat dengannya sehingga mendapatkan kesempurnaan kebahagiaan ilmiahnya.[2]
Adapun Imam al-Ghazali mendefenisikan akhlak sebagai bentuk jiwa (nafs) yang terpatri, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Apabila suatu bentuk memunculkan beragam perbuatan indah dan terpuji berdasarkan akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah). Sebaliknya, jika darinya muncul beragam perbuatan buruk, ia dinamakan akhlak tercela (akhlak mazmumah).[3]
Selanjutnya, Imam al-Ghazali menjelaskan perbedaan akhlak dengan perbuatan (fi’il), kemampuan (qudrah), dan pengetahuan (ma’rifah). Menurutnya, khulq (akhlak) bukanlah perbuatan (fi’l). Karena, banyak orang yang khulq-nya dermawan tetapi tidak mendermakan harta, mungkin lantaran kehabisan harta atau halangan tertentu. Terkadang pula, khulq-nya bakhil (pelit) tetapi ia mendermakan harta, mungkin karena motif-motif tertentu atau riya. Khulq juga tidak sama dengan kemampuan (qudrah), sebab, kemampuan dinisbahkan pada menahan diri dan memberi. Tetapi, terhadap keduanya yang berlawanan ini keadaannya sama. Setiap orang diciptakan dengan fitrah dalam kondisi yang mampu memberi dan menahan. Itu tidak menyebabkan munculnya khulq kebakhilan dan khulq kedermawanan. Khulq juga bukanlah pengetahuan (ma’rifah), sebab, pengetahuan berkaitan dengan kebaikan dan keburukan sekaligus pada tingkatan yang sama. Akan tetapi khulq merupakan malakah yakni bentuk yang dengannya jiwa bersiap-siap untuk memunculkan sikap menahan diri atau memberi. Jadi, khulq adalah bentuk jiwa dan rupa batiniah.[4]
Dengan demikian akhlak merupakan sifat psikologis (ruhaniah) dan bukan suatu tindakan atau perbuatan, meskipun al-amal al-ikhtiari merupakan manifestasi luarnya. Akhlak juga bukanlah hasil dari sebuah kebetulan, karena ia berupa pembawaan yang melekat dalam jiwa (malakah). Maka, malakah harus memiliki fondasi sebagaimana bangunan memerlukan fondasi. Adapun fondasi-fondasi akhlak ialah naluri, keturunan, lingkungan, pendidikan, dan kebiasaan.[5]
SUMBER-SUMBER AKHLAK
Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa manusia memiliki pembawaan-pembawaan yang berhubungan dengan tiga domain kekuatan yang terhimpun dalam diri manusia, yaitu kekuatan tumbuh-tumbuhan, kekuatan kebinatangan, dan kekuatan kemanusiaan. Ketiga kekuatan ini yang mengarahkan manusia pada dimensi moralitas (akhlak terpuji) atau juga akhlak rendah yang tercela.[6] Sedangkan Imam Khumaini, menyebutkan tiga daya atau fakultas batin yang penting dan menjadi sumber bagi seluruh malakah (watak/karakter) baik maupun buruk dan dasar bagi seluruh bentuk-bentuk gaib yang tinggi. Ketiga daya itu adalah al-quwwah al-wahmiyyah (daya imajinasi atau pencitraan), al-quwwah al-ghadabiyyah (daya amarah), al-quwwah al-syahwiyyah (daya syahwat).[7] Ketiganya, lanjut Imam Khumaini, bisa menjadi pasukan Sang Maha Pengasih yang akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan bagi manusia jika semuanya mengikuti akal sehat dan ajaran para nabi Allah yang mulia, sebaliknya jika dibiarkan apa adanya, maka semua daya itu akan menjadi pasukan setan.[8]
Jiwa (nafs) adalah esensi surgawi yang menggunakan tubuh dan memanfaatkan berbagai organ lain untuk mencapai maksud dan tujuannya. Tetapi, perlu diketahui bahwa jiwa (nafs) bukanlah sesuatu yang kosong hampa tanpa memiliki potensi-potensi keruhanian, melainkan suatu wujud inti dari keberadaan manusia yang unik, luar biasa, dan penuh daya yang tak terbatas untuk senantiasa menyempurna dengan cara menyerap asma-asma ketuhanan, atau pula sebaliknya menjadi hina karena lebih mementingkan sisi kebinatangannya. Seperti disebutkan al-Quran bahwa manusia adalah sebaik-baik ciptaan, namun dapat pula ia dilemparkan ke dalam jurang kecelakaan yang penuh kehinaan, “Sesungguhnya kami menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Kemudian kami campakkan ia ketempat yang serendah-rendahnya” (Q.S. At-Tin: 4-5)
Penting diperhatikan, bahwa potensi diri kemanusiaan bermata ganda yaitu mengandung sisi negatif dan positif sekaligus. Hal itu dikarenankan, jiwa manusia memiliki kecakapan yang meliputi keduanya. An-Naraqi menyebutkan empat kecakapan utama yang dimiliki oleh jiwa, yaitu :
1. Kecakapan akal (al-quwwah al-aqliyah)—bersifat malaikat.
2. Kecakapan amarah (al-quwwah al-ghadabiyah)—bersifat buas.
3. Kecakapan nafsu (al-quwwah ash-shahwiyah)—bersifat binatang.
4. Kecakapan imajinasi (al-quwwah al-wahmiyyah)—bersifat kejam.[9]
Fungsi keempat kecakapan itu sangatlah berguna bagi kehidupan manusia. Sebab, apabila manusia tidak memiliki akal, tidak akan mungkin dapat membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Apabila tidak memiliki kekuatan amarah, dia tidak dapat melindungi dirinya dari serangan, dan apabila kekuatan seksual tidak ada, keberadaan spesies manusia akan punah. Sedangkan, jika tidak memiliki kekuatan imajinasi, maka dia tidak dapat menggambarkan (visualize) hal-hal yang universal dan hal-hal yang partikular dan membuat kesimpulan dari gambaran tersebut.[10]
Dari keempat daya atau kecakapan di atas, diakui bahwa, kecakapan akal merupakan potensi termulia dan terbaik. Ia menjadi cahaya bagi jiwa untuk menjadi suci, sempurna dan bahagia. Jika, akal menjadi raja yang mengendalikan semua kecakapan lainnya, maka manusia akan mencapai perkembangan ruhani yang menjadikan dirinya dekat kepada Allah swt. Namun, jika akal menjadi tawanan dari ketiga daya di atas, maka saat itu akal akan bertindak menyalahi tabiat aslinya yang selalu benar. Misalnya, jika kekuatan akal mengabdi kepada kekuatan ghadab, syahwat, atau wahmiyyah, maka seseorang akan menjadi tiran di muka bumi, sehingga akan bertabiat sewenang-wenang, menebar kerusakan, menjadi teman setan, menghalalkan segala cara, dan mengingkari kebaikan serta mengerjakan kejahatan. Jadi, keempat daya ini menjadi sumber-sumber penting bagi perilaku manusia.
METODE PENDIDIKAN AKHLAK
Pendidikan akhlak merupakan pendidikan yang memiliki posisi inti dalam struktur ajaran Islam. Nilai penting tersebut dapat kita rujuk melalui dua pendekatan yaitu pendekatan naqliyah (normatif) dan pendekatan aqliyah (ilmiah).
Secara normatif, al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW memberikan penegasan gamblang akan keharusan manusia untuk berakhlak mulia yang dimunculkan dalam refleksi tindakan baik itu kata-kata, perbuatan, maupun sikap. Manusia yang dalam dirinya ada manifestasi ilahiah yang kemudian diaktualisasikan melalui kemanusiaan sempurna (insan kamil) dengan cerminan akhlak mulia akan mendapatkan pujian dari Allah SWT. Dalam al-Quran, Allah memuji hamba-Nya dengan begitu indahnya :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q.S. al-Qalam: 4)
“Sungguh pada diri Rasululah ada suri tauladan yang baik.” (Q.S. )
“Demi jiwa serta penyempurnaanya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. al-Syam: 7-10).
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa kemuliaan manusia terletak pada kemuliaan akhlak, sehingga layak mendapatkan pujian Allah SWT. Bukankah, kemualiaan itu terletak pada ketakwaan? Benar, karena ketakwaan adalah pokok akhlak. Menariknya ayat tersebut yang diidentifikasi untuk memuji Rasulullah SAW, menggunakan kata pujian dengan salah satu sifat Allah SWT, yaitu al-azhim (Maha Agung). Ayatullah Hasan Zaseh Amuli mengatakan :
“Berakhlak adalah merealisasikan dan menyifati diri dengan hakikat akhlak tersebut, bukan pengetahuan tentang makna atau konsep seperti yang diperoleh dengan merujuk pada kamus; bahwa rahim (kasih sayang) adalah begini dan athuf adalah begini. Dengan demikian, jelaslah makna hadits Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama. Barangsiapa yang memahami dan mengamalkannya, maka ia akan masuk surga”. Maksudnya, berakhlak dengan hakikat nama-nama tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya dari Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah mempunyai 99 akhlak. Barangsiapa berakhlak dengannya, maka ia masuk surga.” Sebab, hadis-hadis saling menjelaskan satu sama lain, sebagaimana sebagian al-Quran membicarakan sebagian yang lainnya.”[11]
Kemuliaan akhlak juga merupakan tujuan pengutusan para nabi. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah menegaskan bahwa sebenarnya ia diutus Allah dengan tujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia” Ini berarti, dengan berakhlak mulia manusia sedang menyerap sifat-sifat Tuhan dan kemudian ia manifestasikan (pancarkan) dalam kehidupannya sehari-hari dikomunitasnya. Menurut Majid Rasyid Pur, sabda Rasulullah SAW tersebut bermakna umum sekaligus spesifik. Hal ini karena kata buitstu yang berarti ‘aku diutus’ menunjukkan pemaknaan umum akan kenabian dan kerasulan yang berarti utusan Tuhan, namun di sisi lain, nabi juga menegaskan bahwa dirinya tabah dan sabar menghadapi berbagai kesulitan, caci maki, hinaan masyarakat Arab musyrik, dan lain-lain. Semua itu beliau tempuh demi menyempurnakan akhlak mulia. Adapun kalimat “untuk menyempurnakan” dapat dipahami bahwa seluruh agama dan ajaran ilahi bertujuan untuk membenahi akhlak manusia.[12]
Dengan demikian, dimensi spiritual kenabian bukanlah diperoleh secara kebetulan dan untung-untungan, melainkan dengan kerja keras dengan mengerahkan seluruh potensinya sehingga menggapai maqam kedekatan dengan Allah swt hingga dinyatakan layak untuk mengemban misi kenabian. Perjuangan nabi Muhammad saw yang begitu kukuh untuk tetap mempertahankan dirinya pada jalur kesucian ditengah badai kehancuran masyarakat Arab Mekah, menjadikan nabi sebagai sosok yang terlatih secara sadar untuk senantiasa berbicara, bersikap dan bertindak dengan cara-cara yang beradab, penuh wibawa, dan akhlak mulia. Kebiasaan nabi untuk senantiasa melakukan aktivitas berguna dan baik, menjadikan dirinya sebagai eksistensi kemanusiaan tersempurna diseluruh jagat raya.
Muhammad Mahdi bin Abi Dzar An-Naraqi dalam kitabnya yang terkenal Jami’ al-Saadat menyebutkan bahwa akhlak yang dihasilkan dari malakah (kecakapan, pembawaan) jiwa yang dengan latihan dan praktek berulang-ulang sehingga dapat dengan mudah dimunculkan dapat beragam aktivitas akan terinternalisasi secara kuat di dalam diri manusia sehingga tidak mudah untuk dirusak. Menurut An-Naraqi, suatu watak tertentu (malakah) mungkin muncul dalam diri manusia karena salah satu alasan berikut ini :
a. Dandanan (make-up) alami dan buatan; hal ini menampilkan bahwa beberapa orang memiliki sifat sabar sementara lainnya mudah tersinggung dan tidak percaya diri.
b. Kebiasaan; terbentuk karena kegiatan dan tindakan khusus yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkelanjutan guna membentuk watak tertentu. Latihan dan usaha yang dilakukan secara sadar; yang jika dilakukan secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang cukup lama akan memungkinkan untuk membentuk watak tertentu.[13]
Jadi, jika ingin memperoleh akhlak mulia, maka seseorang dianjurkan untuk mengulang-ulang perbuatan baik dan amal saleh secara berkesinambungan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan yang tertanam di dalam jiwa dan sulit untuk dihilangkan.[14]
Allamah Thabathabai memaparkan tiga metode pendidikan untuk meraih kesempurnaan dan perbaikan akhlak, yaitu :
1. Mendidik akhlak dengan tujuan-tujuan keduniawian yang baik. Hal ini berarti berhubungan dengan pujian dan celaan di hadapan manusia
2. Mendidik akhlak melalui tujuan-tujuan ukhrawi yang mengindikasikan pada pahala dan dosa, ganjaran dan siksaaan di yaumil akhir kelak.
3. Mendidik manusia secara deskriptif dan ilmiah dengan menggunakan ilmu pengetahuan (ma’arif) yang tidak menyisakan subjek ketercelaan.[15]
Ketiga cara ini handaknya digunakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang tepat sesuai jenjang dan kemampuan individu.
PENUTUP
Akhlak merupakan puncak dari kemanusiaan, inti pengutusan kenabian, serta cerminan bagi ketuhanan. Karenanya, siapa yang berhasil mencapai kesempurnaan akhlak maka ia memasuki tahap manifestasi asma dan sifat Tuhan, dimana seluruh organ tubuhnya menjadi alat bagi Tuhan untuk menebarkan rahmat pada semesta ciptaan. Sebab itu, pendidikan akhlak mesti dikukuhkan sebagai pendidikan puncak dari manusia. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
[1] Sayid Mujtaba Musawi Lari. Ethic and Spiritual Growth. (
[2] Sayid Muhammad Husain Thabathabai. al-Mizan fi Tafsir al-Quran Jilid I, (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-Mathbuat, 1991 M), h. 370.
[3] Sayyid Kamal Haydari. Manajemen Ruh. (Bogor: Cahaya, 2004), hlm. 29.
[4] Sayyid Kamal Haydari. Manajemen Ruh. h. 30.
[5] Muhammad Amin Zainuddin. Membangun Surga di Hati Dengan Kemuliaan Akhlak. (Bogor: Cahaya, 2004), h. 25-26.
[6] Sayid Muhammad Husain Thabathabai. al-Mizan, h. 370-371.
[7] Imam Khumaini. 40 Hadis. (Bandung: Mizan, 2004), hlm.16.
[8] Imam Khumaini. 40 Hadis, h.19.
[9] Muhammad Mahdi bin Abi Dzar an-Naraqi. Penghimpun Kebahagiaan: Jami’ as-Saadat. (Jakarta: Lentera, 2004), h.19-20.
[10] Muhammad Mahdi bin Abi Dzar an-Naraqi. Penghimpun, h. 20
[11] Sayid Kamal Haydari. Manajemen, h. 28.
[12] Lihat Majid Rasyid Pur. Tazkiyah al-Nafs: Penyucian Jiwa (Bogor: Cahaya, 2003), h. 37-38.
[13] Muhammad Mahdi bin Abi Dzar an-Naraqi, Penghimpun, h.12.
[14] Thabathabai, al-Mizan, h. 351.
[15] Thabathabai, al-Mizan, h. 351-355.