Powered By Blogger

Selasa, 26 Oktober 2010

DINAMIKA SAINS, KEKUASAAN DAN MORALITAS

DINAMIKA SAINS, KEKUASAAN DAN MORALITAS :
MENCARI ALTERNATIF PARDIGMA
 Oleh : Candiki Repantu
PENDAHULUAN

“Dalam pandangan saya, sains menawarkan jalan yang lebih pasti menuju Tuhan ketimbang agama. Benar atau salah, fakta bahwa sains benar-benar maju ke titik di mana apa yang sebelumnya merupakan pertanyaan-pertanyaan religius dapat ditangani sendiri secara serius, mengindikasikan konsekuensi-konsekuensi fisika baru yang merentang jauh.” (Davies, 2002: v)

Ungkapan Paul Davies di atas telah mewakili juru bicara sains abad ini, dimana sains dianggap menjadi ukuran satu-satunya kehidupan manusia saat ini. Apa yang dinilai sains sebagai benar, maka diterimalah hal itu oleh manusia, dan yang dinilai sains sebagai mitos maka dipercaya manusia sebagai mitos pula. Sains bukan hanya telah menjadi kendali pikiran, tetapi juga pengontrol perilaku manusia. Sains menjadikan para saintis sebagai pemandu utama manusia menuju kebahagiaan dibandingkan para saint (santo/orang suci). Singkatnya sains telah menjadi paradigma dan ideologi abad ini.

Posisi sains yang begitu sentral saat ini didukung pula oleh perkembangan teknologi sebagai sisi praktisnya. Hal ini membuat takjub sebagaian orang, tetapi membuat khawatir pula sebagain lainnya. Bagi yang takjub, sains dan teknologi adalah puncak kreativitas manusia dalam menaklukkan alam, sedangkan bagi yang khawatir sains dan teknologi juga akan merusak manusia dan alam semesta. Bagi yang takjub sains dan teknologi akan memberikan berkah, tetapi bagi yang khawatir sains dan teknologi berpotensi mendatangkan bencana. Bagi para ilmuan sains dan teknolgi membantu manusia mengatasi penyakit-penyakit yang ada, tetapi bagi yang khawatir sains dan teknologi juga akan mendatangkan penyakit-penyakit baru yang lebih berbahaya. Bagi yang takjub, sains dan teknologi memudahkan manusia dalam bekerja, tetapi juga mengancam pengangguran dimana-mana. Sains dan teknologi telah menciptakan mesin-mesin raksasa yang mengolah alam untuk kepentingan manusia, tetapi juga telah mengakibatkan manusia menjadi mesin-mesin mekanis yang kehilangan sisi terdalam kemanusiaannya yakni moralitas (etika).

Tidak hanya sampai di situ, sains yang mendapat kehormatan menjadi pangeran abad ini, ternyata tidak menemukan kebebasan yang dibanggakannya. Sebab ternyata sains tetap tak mampu menembus kekuasaan politik dunia. Para pengambil kebijakan saat ini, ternyata bukanlah para saintis, tetapi para politisi. Dalam kondisi ini, sains menjadi pelayan politik, yang akhirnya sains sebagai sarana untuk mengambil dan mempertahankan kekuasaan. Karena kekuasaan di dunia ini tak selamanya dipegang oleh manusia-manusia bijak, maka penggunaan sains yang destruktif menjadi ancaman serius kemanusiaan. Karena itu, tidak hanya sains dan kekuasan, kepribadian para penguasa juga hal penting untuk mendapat perhatian serius agar peradaban dunia mengarah pada progresifitas yang menjanjikan. Untuk itulah memperhatikan dinamika sain, kekuasaan dan moralitas menjadi agenda utama manusia abad ini.

MENCARI ALTERNATIF PARADIGMA SAINS MODERN

Konon, seorang pasien rumah sakit jiwa mengadu kepada dokternya, “Dokter, saya sudah mati!” Dokter berusaha meyakinkannya bahwa ia masih masih hidup, tetapi selalu gagal. Maka dengan hampir putus asa, dokter itu berkata, “Baiklah, orang mati tidak mengeluarkan darahkan?” Pasien itu mengangguk, “Benar, orang mati tidak berdarah”. Pada saat itu, dengan cepat dokter menusukkan jarum ke jari pasien. Ketika darah menetes pasien itu berkata, “Ok Dok, saya keliru, orang mati ternyata berdarah.” Apapun yang terjadi akhirnya diletakkan pada bingkai paradigma awal: Ia sudah mati.

Cerita di atas menunjukkan bahwa cara kita memandang sesuatu bergantung pada paradigma yang mendasarinya, sehingga apapun yang terjadi akan diletakkan orang dalam paradigma yang diyakininya. (Rakhmat, 2003: 12)
Paradigma menjadi populer dengan didengungkan oleh Thomas Kuhn pada tahun 1970 melalui karyanya yang cemerlang The Structure of Scientific Revolutions. Dalam karyanya ini dia telah mendeskripsikan berbagai makna paradigma. Yang menarik adalah temuannya yang mengemukakan bahwa analisis sains mendasarkan diri pada paradigma yang dianut seorang saintis, sehingga dapat terjadi perbedaan para saintis dalam kajian risetnya dikarenakan perbedaan paradigma yang dianut. (Kuhn, 1989: 108-109)

Paradigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi filosofis yang diyakini ilmuan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Karena dikatakan sebagai asumsi-asumsi filosofis maka ia mengandung asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai.

Fritjop Chapra menyebutkan bahwa sains modern menganut paradigma mekanistik-positivisme Cartesian-Newtonian yang memisahkan antara pikiran dan materi sehingga membawa kita pada pandangan alam semesta sebagai sebuah sistem mekanis yang terdiri dari benda-benda yang terpisah, yang nantinya bisa direduksi menjadi balok-balok bangunan materi pokok yang sifat-sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan semua fenomena alam. Pandangan alam semesta Cartesian semacam ini kemudian dikembangkan lebih jauh hingga pada organisme hidup, yang dianggap sebagai mesin yang dibangun atas bagian-bagian yang terpisah. Kita akan melihat bahwa konsep dunia mekanis semacam ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu kita dan tetap memiliki pengaruh yang luar biasa pada banyak aspek kehidupan kita. Konsep ini telah menimbulkan pemisahan yang begitu terkenal dalam disiplin akademik dan sistem pemerintahan kita dan telah berfungsi sebagai dasar pemikiran untuk memperlakukan lingkungan alam seolah-olah terdiri dari bagian-bagian yang terpisah untuk dieksploitasi oleh berbagai kelompok yang berkepentingan. (Chapra, 2007: 27-28)

Dalam bukunya Pradigma Holistik (2003) Husain Heriyanto, menganalisis bahwa sains modern didasarkan pada paradigma tertentu yang disebut “Paradigma Cartesian-Newtonian.” Paradigma ini memiliki enam asumsi, yakni:

1. Subjektivisme-antroposentik: sebuah kesadaran subjektif yang meyakini manusia sebagai pusat dunia
2. Dualisme: dikotomi antara subjek dan objek, manusia dan alam, dengan menempatkan subjek/manusia sebagai yang superior
3. Mekanistik deterministik: alam merupakan mesin raksasa yang bekerja secara mekanis, tak bernyawa dan statis serta telah dikondisikan seluruhnya oleh sistem yang telah pasti secara alamiah
4. Reduksionisme-Atomistik: kepercayaan bahwa keseluruhan dapat dipahami secara sempurna dengan menganalisis bagian-bagiannya, dan segalanya itu adalah unsur atom-atom
5. Instrumentalisme: Kebenaran mesti diukur secara kuantitatif dan sejauh mana ia dapat digunakan untuk kepentingan material dan praktis
6. Materialisme-Saintisme: materilah yang merupakan yang riil, dan alam merupakan dunia materi yang mandiri tanpa sebab atau kendali supranatural dan yang dapat menjelaskan alam semesta secara memuaskan hanyalah sains.

Apa implikasi dari paradigma “Cartesian-Newtonian” di atas? Secara positif paradigma ini berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia. Namun, di lain sisi mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Pandangannya yang mekanistik terhadap alam telah melahirkan kemerosotan kualitas lingkungan seperti pencemaran udara, air, dan tanah serta masalah kesehatan yang mengancam balik kehidupan manusia. Paradigma ini juga cenderung memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, deterministik, linier, dan materialistik. Pandangan dunia inilah yang melahirkan berbagai krisis global yang disebut oleh Chapra sebagai “penyakit-penyakit peradaban”. (lihat Chapra, 2007: 7)

Begitu pula, paradigma sains modern ini telah memberikan berkah yang melimpah, kemudahan materi, dan memperluas cakrawala pikiran. Namun, ia juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang hebat, dan hilangnya perhatian kita secara bertahap pada pedoman spiritual dan etika—kebenaran, kehormatan, dan keadilan—yang telah menjadi benteng kokoh setiap peradaban besar masa lalu. Sekarang ini, hal-hal absolut tampaknya menjadi impian yang tidak bisa terwujud. Saat kita sekarang ini adalah sebuah dunia relativis yang baru dan asing. Penting bagi kita menemukan suatu pengganti yang bermakna bagi kesadaran kita akan makna yang telah hilang.” (Walters. 2003: 1)

Bahkan Paul Davies seorang ilmuan yang memuja sains dan mendeskreditkan agama menegaskan bahwa sains mungkin telah mengurangi bencana penyakit dan pengangguran, tetapi ia juga menimbulkan senjata-senjata pemusnah massal yang menakutkan dan menurunkan kualitas hidup secara serius. Dampak sains pada masyarakat industrial telah menjadi rahmat yang campur aduk”. (Davies, 2002: 5) Untuk itu, mengawal sains adalah hal yang mesti dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan yang tinggi.

Ted Peters mengatakan sudah saatnya para teolog bersuara tentang permasalahan etis yang timbul dari krisis lingkungan dan kebutuhan untuk merancang masa depan jangka panjang planet kita. Tantangan ekologis muncul dari krisis ledakan penduduk; proses produksi pertanian dan industri yang menghabiskan sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui sekaligus menyebabkan pencemaran udara, tanah, dan air; semakin melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan miskin di seluruh dunia; dan hilangnya rasa tanggungjawab terhadap kesejahteraan generasi mendatang. Teknologi modern banyak bertanggungjawab atas terjadinya krisis ekologi ini dan para teolog bersama dengan kaum moralis sekuler berjuang keras unutk meraih kendali etis atas kekuatan-kekuatan teknologi dan ekonomi, yang jika dibiarkan akan membawa kita kepada kehancuran. (Peters, 2006: 112)

SAINS DAN KEKUASAAN

Merujuk pada analaisis Huston Smith dalam Why Religion Matters, saat memasuki abad modern, mulai terjadi pembunuhan pada agama. Hal itu dilakukan oleh dua raksasa yang berkuasa, yaitu kekuasaan politik (politikisme) dan kekuasaan sains (saintisme) yang tersimpul dalam satu ideologi modern yakni sekularisme. Sains— dalam balutan sekularisme berubah menjadi saintisme— berdiri atas nama metode ilmiah, yang menggantikan posisi wahyu sebagai jalan menuju pengetahuan. Secara konseptual, itu membentuk pandangan dunia ilmiah, sementara teknologinya membentuk dunia modern. Sebagai akibatnya, agama dipinggirkan. Dalam dimensi intelektual, sains tidak memberikan tempat bagi wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan ketika kaum modernis cenderung berpikir ala sains dalam soal kebenaran, kepercayaan kepada wahyu semakin hilang. Sedangkan secara politik (politikisme), transportasi dan perpindahan penduduk yang lebih mudah memperkenalkan gejala baru yaitu pluralisme kultural. Hasilnya, lagi-lagi penyingkiran agama dari kehidupan publik, karena agama membeda-bedakan, sementara politik justru mau mengupayakan landasan bersama yang dapat menengahi perbedaan-perbedaan warganya. (Smith, 2003: 186-187).

Saintisme telah mengobarkan peperangan melawan agama, dengan menyatakan kemenangan mutlaknya terhadap kekuatan takhayul, dogma, dan ilmu pengetahuan semu. Saintisme adalah sebuah ideologi yang dibangun berdasar pada sebuah asumsi bahwa ilmu bisa memberikan pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ingin kita ketahui. Hanya ada satu realitas, yaitu yang alami, dan ilmu pengetahuan memonopoli pengetahuan kita tentang alam. Maka saintisme adalah sebuah agama sekuler. (Peters, 2006: 102) Hal ini juga dinyatakan oleh Paus Yohanes Paulus II yang menulis di dalam Fides et Ratio bahwa saintisme adalah sebuah pengertian filosofis yang menolak mengakui keabsahan bentuk-bentuk pengetahuan yang berada di luar ilmu-ilmu positif; paham ini mengasingkan pengetahuan-pengtahuan religius, teologis, etis, dan estetis dalam wilayah fantasi saja. (Peters, 2006: 421)

Banyak para ahli membuktikan bahwa sains dan teknologi tidak bersifat netral. Tetapi, sebagian besar ilmuwan saat ini meyakini netralitas sains. Karena sains merupakan suatu upaya yang bebas nilai, maka perbedaan antara pelbagai tradisi ilmiah, sepenuhnya timbul pada tingkat justifikasi, bukan pada tingkat eksperimen dan cara kerja. Jadi, ketika seorang saintis, baik Muslim, Kristen, Hindu, atau ateis mengamati komponen kimiawi mineral, mereka akan melihat sesuatu yang sama, bekerja pada perangkat elemen yang sama, menurut perangkat kondisi yang sama, dan akan sampai pada kesimpulan yang sama. Aplikasi praktis temuan-temuan ini pada berbagai bidang dan teknologilah yang membuat perbedaan. (Kalin, dalam Peters, 2006: 78)

Seperti halnya ilmu pengetahuan, teknologi juga bersifat netral, kata Henry Steele Commager (dalam Lapham, 1989: 27). Manusialah yang menerapkannya, dan manusialah yang bertanggungjawab atas teknologi—manusia yang bekerja sendiri, atau melalui perusahaan atau pemerintah. Teknologi merupakan sarana utama untuk kemajuan, atau bagi kematian, begitu manusia telah memilih menggunakannya. Kita tidak punya pilihan selain mengendalikan teknologi. Jika kita tiak mengendalikannya, maka teknologi akan menguasai kita.

Jadi, sekalipun kita sepakat ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat netral dan bebas nilai, maka kita harus tetap memperhitungkannya disaat mempergunakannya dalam kehidupan ini. Sebab, sifat netralnya tersebut membuat sains dan teknologi bisa digunakan oleh siapa saja, dan untuk apa saja, kebaikan atau keburukan. Ini berarti, sains dan teknologi sangat bergantung pada sifat manusia yang menggunakannya. Jika manusianya berpegang pada nilai-nilai mulia, maka sains dan teknologi akan berjalan menuju arah kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Inilah diantara sisi positifnya.

Namun jika sains dan teknologi dikuasai oleh para manusia-manusia rakus dan haus kekauasaan maka ianya akan menjadi alat politisasi untuk melestarikan kekuasaanya yang merusak. Misalnya, teknologi nuklir. Teknologi merupakan hasil kemajuan sains dalam analisanya terhadap semesta. Krisis energi yang dialami manusia, bisa teratasi dengan adanya energi nuklir. Inilah diantara manfaat positifnya. Namun, tatkala manusia mengambil keputusan untuk memanfaatkan teknologi nuklir guna memmenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak kehidupannya, para penguasa dunia yang haus kekuasaan memaksa para ilmuan untuk membuat bom nuklir. Bom-bom nuklir ini berada di tangan orang-orang yang haus kekuasan. Dengan bom itu, ia mengancam dan menakut-nakuti siapa saja yang hendak menghirup udara kebebasan. Di sini, kemampuan manusia untuk mencipta telah menjadi tawanan orang-orang yang haus kekuasaan. Pada titik ini, ilmu dan teknologi tak mendapatkan kebebasannya. (Muthahari, 1996: 33)

Murtadha Muthahhari (1996: 34) menggambarkan kondisi sains sebagai alat kekuasaan, sebagai berikut :
“Sekiranya Anda memperhatikan dengan teliti, niscaya Anda mengetahui bahwa seandainya ada seorang ilmuan menemukan sesuatu yang baru atau seorang ahli psikologi mahir, maka kekuatan politik yang berkuasa akan segera berusaha mendapatkan dan memaksanya untuk bekerja demi kepentingan mereka. Tidak ada pilihan lain bagi sang ilmuan itu. Mungkin contoh yang paling tepat dalam hal ini adalah para ilmuan ahli nuklir. Di manapun di dunia ini, jika ada seorang ilmuan ahli nuklir terkemuka ditemukan, maka kekuatan politik dunia akan segera mendatangi dan menawannya agar dia menyerahkan pengetahuannya kepada mereka atau terkadang dengan maksud agar pihak musuh tidak bisa memanfaatkannya. Kekuatan politik itu memberikan suatu program kepada sang ilmuan, dan mereka meminta kepadanya untuk bekerja sesuai dengan program mereka. Ia tidak boleh keluar atau menyimpang dari program yang telah ditetapkan. Bahkan ia tak punya hak hidup kecuali menekuni program itu. Mereka kehilangan kebebasan. Inilah mengapa bisa kita katakan bahwa saat ini adalah masa ilmu pengetahuan yang terpenjara. Terpenjara oleh kekuasaan dan kekuatan yang memerintah umat manusia. Abad ini adalah abad di mana ilmuan dan ilmu pengetahuan dijadikan alat bagi mencapai cita-cita para penguasa”.

“Dari sini kita memahami bahwa di samping mempunyai kemajuan dan perkembangan, manusia juga mempunyai kemungkinan untuk menyimpang. Para guru akhlak/etika telah memberitahukan kepada kita sejak berabad-abad yang lalu tentang hal ini. Mereka mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang tidak menunjukkan bahwa ia akan menggunakannya demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab, mungkin saja. Ada seorang berilmu yang memanfaatkan ilmunya demi kepentingan syahwatnya. Atau kerja keras para ilmuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk maksud-maksud kejahatan dan ambisi kekuasaan.”



Gambaran Muthahhari di atas menunjukkan dinamika antara sains dan kekuasan, dimana pada saat ini kekuasan mendominasi sains. Kekuasaan menjadi raja, sedangkan sains menjadi panglima. Betapa banyak kekuasaan yang ditegakkan di atas kekuatan sains. Negara adidaya di dunia tidak hanya dinilai dari kekuatan senjata, tetapi juga dari kekuatan sains. Perlombaan senjata antara Amerika dan Rusia untuk saling mengentarkan musuh-musuhnya, juga di nilai sebagai perlombaan para ilmuwan dalam meningkatkan kualitas pengetahuan mereka. Beragam penemuan dan penelitian yang dilakukan disponsori oleh elit-elit pengusaha atau elit penguasa. Dan tentunya kedua elit ini lebih memperhatikan sisi ekonomi dan kekuasaan mereka dalam mendukung aktivitas saintis. Karena itulah, sains sebagai pelayan kekuasaan memang telah menjadi fenomena abad ini.
Itulah mengapa sejak masa Yunani hingga saat ini para filosof melihat bahwa kekuasaan tidaklah layak berada di tangan para individu yang dikendalikan oleh nafsu syahwatnya. Kesejahteraan hanya akan terjadi, jika para intelektual menjadi pemegang dan pengendali kekuasaan (Aristokrasi). Dalam ungkapan Plato, “dunia tidak akan melihat kebahagiaan, kecuali bila orang-orang ahli ilmu dan hikmah menjadi penguasa, dan para penguasa menjadi orang ahli hikmah dan ilmu pengetahuan. Selama para ahli hikmah dan pengetahuan berada pada satu tingkatan, dan para penguasa berada pada tingkatan lain, maka selama itu pula kebahagiaan tidak akan dapat dirasakan oleh dunia.” (Muthahari, 1996: 37)

Manusia dikatakan sebagai makhluk berakal dan dengan akallah manusia beragama dan berpengetahuan. Karena itu, sains sebagai hasil penalaran akal tidak layak digunakan sebagai penolak keagamaan, begitupula agama yang disimpulkan dengan argumentasi-argumentasi rasional mustahil menafikan ilmu pengetahuan.

Demikian juga terhadap dunia politis, manusia merupakan makhluk terbaik hasil kreasi Tuhan, dijadikan sebagai pengemban amanah untuk memakmurkan jagat raya. Kemakmuran hanya didapatkan dengan sistem amanah bukan kekuasaan. Amanah ini didasarkan pada kepercayaan dan tanggung jawab, sedangkan kekuasaan diazaskan dengan kepemilikan dan kebebasan. Karenanya, pengelolaan semesta dengan amanah akan menghasilkan pemeliharaan yang sesuai dengan karakteristik alam semesta, sedangkan pengelolaan berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan hanya akan memberlakukan alam sesuai dengan keinginan dan kesenangan. Sebab itu, politik yang amanah akan menjadikan kekuasaan sebagai sarana menuju kemaslahatan jagat raya termasuk mengantarkan manusia pada kesempurnaannya.

Secara jujur mesti diakui bahwa manusia mengharapkan kesempurnaan diri. Dengan fitrah ini, manusia mencari sarana untuk mencapai hasrat kesempurnaan tersebut. Apa sarana tersebut? sains etika atau kekuasaan (politik)? Jawaban idealnya bukanlah salah satunya, melainkan ketiganya. Kalau begitu, konsekuensi semestinya dari fitrah kesempurnaan adalah keterpaduan sains, etika dan kekuasaan. Artinya semakin orang berpengatahuan maka semakin baik pula dirinya, sehingga ia menggunakan kekuasaan dengan dasar keadilan.

SAINS DAN MORALITAS

Ketika seorang ilmuwan menemukan teori gelombang dan cahaya sehingga bisa membuat alat merekan gambar dan suara. Dengan temuan ini, manusia bisa merekam berbagai kegiatan manusia, mulai dari pelajaran sampai acara keluarga, sehingga manusia mendapatkan banyak manfaat untuk mengembangkan kehidupannya. Namun kemudian, alat itu juga bisa digunakan untuk memuaskan hasrat nafsu manusia dengan menampilkan gambar-gambar dan film-film cabul yang banyak memberikan keuntungan ekonomis tetapi merusak jiwa dan kehidupan masyarakat. Apa yang kita harapkan dilakukan oleh sang ilmuwan itu? Dalam kondisi ini, kita dihadapkan pada persoalan moral (etika).

Jika sains berpijakan pada fenomena alam, maka moral berdasar pada kebijakan manusia. Sains membawa kita pada beragam penemuan, sedangkan moral mengarahkan kita dalam mengunakan penemuan-penemuan tersebut. Sains membicarakan salah dan benar, maka moral membahas baik dan buruk. Sains bekerja melalui data-data ilmiah, maka moral mengabdi dalam perbuatan-perbuatan amaliyah (baik). Karena itu, sains dan moralitas adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan. Memisahkan sains dan moralitas, sama dengan memisahkan manusia dari kemanusiaannya. Sebab berkah dan kutuk yang diberikan sains kepada kita, tergantung pada sendi-sendi moralitas yang kita pegang. Sebagaimana disebutkan oleh Walters bahwa sains adalah pemberi begitu banyak berkah, juga mendatangkan apa yang mungkin menjadi ujian terbesar yang pernah dihadapi umat manusia. Masalahnya bukan apakah kemajuan ilmu pengetahuan akan menjadi sebab kehancuran manusia. Tetapi, yang dipertaruhkan adalah kemampuan kita untuk menyeimbangkan prestasi lahiriah dengan pencerahan batiniah (spiritual). (Walters, 2003: 4)

Namun, yang menimpa dunia kita saat ini adalah kehampaan nilai-nilai moralitas. Penganggungan ekstrim pada kebebasan ilmiah mengubah manusia menjadi ‘binatang-binatang yang berilmu,” yang hidup dalam kepalsuan dan keterasingan. Jika awalnya kita merasa terasing dari alam semesta, kini kita telah merasa terasing pula dari kemanusiaan kita sendiri. Hal ini telah mendatangkan beragam krisis. J. Donald Walters (2003: 3)dengan baik melukiskan hal ini :
“Kita sekarang ini hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya dapat dilihat di mana-mana: dalam pertentangan global yang kuat dari ideologi-ideologi sosial yang tak sepaham; dalam kebingungan spiritual yang dipicu oleh pengetahuan modern; dalam tantangan terhadap konsep-konsep moral kuno tentang amoralitas yang sinis dan terus berkembang; dalam pola hidup serba cepat dan kacau yang sungguh-sungguh menyerang kesehatan jiwa kita. Kita berbicara tentang perdamaian, meskipun tahu dalam hati bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kegelisahan, ketakutan, dan keraguan. Kita berbicara tentang kemakmuran, namun menyeret diri kita sendiri ke dalam utang yang mencemaskan. Kita meneriakkan ‘kemerdekaan’, namun menyamakan cita-cita ini dengan kebebasan orang lain untuk menjadi persis seperti diri kita sendiri. Kita memuji-muji persamaan hak, meskipun kata itu sering kali dibuat menjadi hukuman bagi keunggulan, dan ‘kebersamaan’ menjadi slogan yang membelenggu inisiatif.”



Kemudian Walters menunjukkan sikap optimismenya dengan mengungkapkan :
“Namun demikian, dari sudut pandang manusia, mungkin di sini ada harapan untuk menemukan nilai-nilai yang tetap, dan oleh karena itu mengalahkan pandangan menyedihkan dari ilmu pengetahuan bahwa nilai-nilai itu tidak ada. Dari sudut pandang kita, bagaimanapun juga, ada hal-hal seperti kerjasama, kehormatan, dan kejujuran. Ada juga kualitas-kualitas yang berlawanan, ketidaksetiaan, kelemahan karakter, dan ketidakjujuran, yang merupakan sifat-sifat yang (kita asumsikan) tidak disetujui semua orang. (Walters, 2003: 8)

Krisis yang melanda dunia ini dipandang sebagai implikasi dari sekularisme. Sekularisme telah memisahkan jasad dan ruh, materi dan immateri. Sekularisme juga telah memisahkan rasio dan iman, sains dan moral. Bagaimana proses sekularisasi ini berjalan. Huston Smith menyebutkan proses sekularisasi ini dilakukan oleh sains dan teknologi dengan agennya adalah universitas tempat para ilmuwan bekerja. Smith menulis :
“Penyebab paling penting sekularisasi itu adalah “teknologisasi” progressif dunia Barat atas nama kemajuan, dan universitas merupakan agen utama proyek itu. Para ilmuwan diperlukan untuk menemukan hukum-hukum baru alam, dan para teknolog diperlukan untuk membuatnya berguna. Setiap orang terlibat, bukan hanya universitas dan ilmuwan, karena sejak kesehatan tubuh sampai oven microwave dan televisi, benda-benda material merupakan piala kehidupan yang paling nyata. Karena itu, tidak ada yang dapat mencegah ledakan sains dan teknologi di kampus-kampus. Kampus secara eksplisit didirikan untuk mengembangkan sisi praktis pendidikan…Para pendatang baru dalam industri pendidikan yang berkembang pesat adalah sekolah-sekolah bisnis dan manjemen….Dalam dunia modern, maraknya sains, teknologi dan sekolah-sekolah bisnis di kampus-kampus merupkan hal yang tak terelakkan, dan dalam dirinya sendiri wajar. Namun, itu mempunyai harganya sendiri. Humaniora dan ilmu-ilmu sosial, yang mengkaji masyarakat, sudah digeser ke pinggir. (Smith, hal. 100-101)

Lebih jauh Huston Smith dalam menyikapi perkembangan Universitas-Universitas di Barat terhadap sains ilmiah menulis sbb :
“Munculnya universitas Amerika pada paruh kedua abad ke-19 membawa revolusi dalam pemahaman kita mengenai kehidupan intelektual. Semangat itu paling tercermin pada universitas-universitas yang mengakomodasi sains dan sekularisme, membebaskan diri dari orientasi religius yang membimbing mereka pada masa lampau, memegang rasa ingin tahu sebagai nilai pada dirinya sendiri, dan memuja rasio sebagai kekuatan penentu dalam kehidupan intelektual…Semangat baru ini kelihatan jelas, khususnya pada kalangan profesionalisme baru, yang menata kembali profesi-profesi lama dan mengembangkan profesi-profesi baru. Kalangan profesionalisme lama mengambil kajian-kajian libreal (humniora) secara serius karena manusia menjadi pusat perhatian mereka. Profesionalisme baru mengkaji benda-benda, dan mengajukan pertanyaan bukan tentang peran ultimat dan tanggungjawab manusia, melainkan tentang apakah X atau Y yang merupakan jalan lebih baik untukmencapai tujuan yang bersifat langsung dan terbatas. Ini bukan prbedaan pada tingkatan, melainkan pada hakikatnya. Dengan mendewakan pengetahuan instrumental dan menjadikannya sebagai pusat, universitas yang marak di mana-mana mengubah panggilan menjadi profesi. Dalam proses itu, tidak hanya fokus pada tujuan dan makna hidup lalu hilang, tetapi juga fokus manusia sebagai manusia karena sudah mereduksi manusia menjadi sekedar instrumen bagi kemajuan pengetahuan duniawi tersebut.” (Smith, 2003: 126-127)

Senada dengan Huston Smith, Jacques Ellul dalam The Technological Society juga melihat ancaman teknologi yang begitu dahsyat saat ini. Ia menyebutkan bahwa teknologi modern semakin otonom, lepas dari pengendalian manusia. Proses teknologi menciptakan kebutuhan yang hanya dapat dipuaskan oleh teknologi. Teknologi membentuk struktur masyarakat sedemikian rupa sehingga masyarakat harus menyesuaikan dirinya dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian, telah terjadi adaptasi yang terbalik (reverse adaptation). Padahal niat awal manusia menggunakan teknologi adalah agar ia dapat mengendalikan alam. Kini, manusia malah tunduk kepada teknologi, alam kedua yang ia ciptakan sendiri. (Heriyanto, 2002: 106)

Karena itu menyatupadukan sains dan etika adalah proyek besar abad ini. Di saat dunia dilanda manusia-manusia hedonis yang menyalurkan hasratnya dalam segala bidang, maka sudah selayaknya, moral kembali menduduki fungsi mahkota yang mengarahkan sains dalam kerjanya. Saat jasad dimanjakan oleh kaum materialis, sudah sewajarnya, moral membuktikan ada cinta dan kasih pada sisi terdalam manusia. Saat kebebasan diagungkan oleh kaum liberalis, sudah semestinya moralitas menunjukan bahwa ‘keteraturan’ adalah pilihan sejati manusia. Saat sains membanggakan diri atas beragam penemuannya, maka moral mengingatkannya dalam mengunakannya, sebab terkadang temuan-temuan itu merupakan produk syahwat manusia. Saat sains menjadikan “manusia dituhankan”, maka sudah semestinya moral memandu kita untuk menghadirkan “Tuhan dalam kemanusiaan.”

ALTERNATIF PARADIGMA : SUATU TAWARAN

Jika kita berkeinginan kuat untuk mengawal perkembangan sains maka tidak bisa tidak, kita mesti terlebih dahulu meletakkan paradigma yang utuh dalam barometer dan standard yang benar. Dengan fondasi dan kerangka paradigma inilah sains akan dibangun dengan megah dan unik. Beberapa paradigma yang ingin saya tawarkan pada saat ini adalah :

  1. Teosentris. Ini berarti semesta berpusat pada ketuhanan. Teosentris bukan berarti menafikan kemanusiaan, akan tetapi menjadikan Tuhan sebagai poros aktivitas manusia. Ini juga berarti apa yang dilakukan manusia, diantaranya ilmu pengetahuan bukan saja untuk dirinya sendiri (ilmu untuk ilmu) atau untuk sipencari ilmu (manusia), tetapi juga dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
  2. Keteraturan-Kausalitas. Artinya bahwa peristiwa-peristiwa dan fenomena apapun sebenarnya suatu hal yang padanya berlaku hukum sebab-akibat karenanya proses itu berjalan teratur.
  3. Pluralitas epistemologi. Asumsi ini menegaskan bahwa perolehan pengetahuan, sumber pengetahuan, pengujian pengetahuan, hingga neracanya, bukanlah satu, akan tetapi plural (beragam). Kita mengakui indera, akal, dan juga intuisi. Pada aspek lain sumber pengetahuan bukanlah hanya dalam kitab suci, tapi juga alam semesta yang terbentang, diri manusia itu sendiri, masyarakat, dan berbagai fenomena yang menyertainya.
  4. Pluralitas ontologis. Dengan paradigma ini kita menerima akan kesejatian eksistensi dan memahami bahwa terdapat hal-hal yang terindera (empiris/material) maupun tidak terindera (immaterial). Yang mana eksistensi itu terbentang dari eksistensi tertinggi (the ultimate reality) hingga eksistensi terendah dengan relasi yang tak terputus (gradasi eksistensi). Eksistensi semesta ini terus menerus bergerak untuk memperoleh kesempurnaannya yang sejati.
  5. Objektivitas yang menunjukkan kemungkinan diperolehnya pengetahuan yang benar. Untuk itu, sebaiknya tidak mencampurkan standard ilmu dan nilai sebab akan menghasilkan kerancuan. Ilmu berpijak pada level epistemologis benar dan batil, sedangkan nilai berpijak pada level aksiologis baik atau buruk. Bagi penganut netralitas ilmu ataupun tidak, tetap mesti dibedakan evaluasi antara ilmu dan nilai. Artinya, standard ilmu adalah epistemologi ilmu dan standard nilai adalah nilai. Tidak layak kita mengesampingkan penelitian ilmiah dengan argumen subjektivitas atas nilai sesuatu.
  6. Penalaran filosofis merupakan jembatan antara sains, etika dan agama. Sebuah kemajuan agama dan ilmu tidak akan tercapai tanpa filsafat. Sebab wawasan kemandirian dalam suatu penyelidikan sulit dibentuk, karena tanpa berpikir filosofis keyakinan dan rasa percaya diri akan sulit diwujudkan. Filsafat adalah sebuah model berpikir yang membahas berbagai hal untuk melahirkan temuan-temuan matang dan rumus-rumus tentang realitas yang sangat berguna untuk membangun sebuah kehidupan yang berperadaban. Inilah proyek “menghidupkan kembali pemikiran filosofis”.

Untuk mendukung paradigma di atas, maka kita harus menciptakan suasana kondusif dan efektif bagi perkembangan ilmu. Di sini mencakup pembangunan lembaga-lembaga riset, memperbesar anggaran pendidikan/penelitian, memberikan penghargaan yang cukup atas hasil karya seseorang, memberikan kebebasan akademik dalam berpikir dan berpendapat. Kemudian juga, kita perlu membina mentalitas ilmuan agar memiliki nilai-nilai religius dan mentalitas spiritual agar siap menerima nilai kebenaran sains yang mungkin secara relatif berbeda dengan agama.

PENUTUP

Sains, kekuasaan dan moralitas memiliki dinamika yang unik dalam kehidupan manusia. Disatu sisi kita membutuhkannya, tetapi di sisi lain kita mengkhawatirkannya. Kita tak bisa hidup tanpa sain, kekuasaan dan moralitas, tetapi kita juga khawatir, ketiganya akan bertanding daripada bersanding. Untuk itu suatu paradigma alternatif yang bisa memandu ketiganya menuju persandingan yang progressif dalam merajut peradaban dunia yang lebih baik menjadi agenda serius abad ini. Tawaran paradigmatik yang ada dalam tulisan ini tidak lain adalah secuil sumbangan arah dalam langkah besar yang akan ditujunya. Semoga!.

BAHAN BACAAN

Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan. (Bandung: Mizan, 2003)
Chapra, Fritjop. The Turning Point: Tititk Balik Peradaban. (Yogyakarta: Jejak, 2007)
Davies, Paul. Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)
Heriyanto, Husein. Paradigma Holistik (Bandung: Teraju, 2003)
Kuhn, Thomas. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (Bandung: Rosda, 1989).
Lapham, Lewis H. (ed). Teknologi Canggih dan Kebebasan Manusia. (Jakarta: Obor, 1989)
Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Alam Semesta. (Jakarta: Lentera, 2003)
Nasr, Syed Hossein. The Heart of Islam. (Bandung: Mizan, 2003)
Peters, Ted. (ed). Tuhan, Alam, Manusia : Perspektif Sains dan Agama. (Bandung: Mizan, 2006)
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. (Bandung: Mizan, 2003)
Smith, Huston. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains (Bandung: Mizan, 2003)
Sardar, Ziauddin. Jihad Intelektual. (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1998)
Walters, J. Donald. Crises in Modern Thought. (Jakarta, gramedia, 2003).